Rabu, 18 Januari 2012

Bagaimana Menjalankan Puasa Enam Hari Bulan Syawal ?

Bagaimana Menjalankan Puasa Enam Hari Bulan Syawal ?

Kategori Puasa - Fiqh Puasa

Selasa, 8 Nopember 2005 06:54:30 WIB

BAGAIMANA MENJALANKAN PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL ?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa cara yang paling baik dalam menjalankan puasa enam hari bulan Syawal ?

Jawaban
Cara yang paling utama adalah berpuasa pada enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul Fithri secara langsung, berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, karena cara itu lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang dituturkan dalam hadits, “Kemudian mengikutinya”, dan karena cara itu termasuk bersegera menuju kebajikan yang diperintahkan oleh dalil-dalil yang menganjurkannya dan memuji orang yang mengerjakannya, juga hal itu termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari kesempurnaan seorang hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan lewat percuma ; karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di kesempatan yang kedua atau akhir perkara.

Inilah yang saya maksudkan dengan bersegera dalam beramal dan cepat-cepat mengambil kesempatan, sebaiknya seseorang menjalankannya dalam segala urusannya di kala kebenaran telah jelas nampak padanya.


PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL BAGI ORANG YANG PUNYA HUTANG PUASA WAJIB.

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pendapat anda tentang puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang berkewajiban membayar hutang puasa wajib ?

Jawaban
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa”[1]

Adapun jika seseorang masih menanggung hutang puasa lalu dia puasa enam hari, apakah dia boleh mengerjakannya sebelum pelunasan hutang Ramadhan ataukah harus sesudahnya ?

Misalnya : Seorang laki-laki berpuasa Ramadhan sebanyak dua puluh empat hari, masih terhutang atasnya enam hari, apabila dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengerjakan enam hari puasa pengganti Ramadhan, maka tidak bisa dikatakan : Sesungguhnya dia berpuasa Ramadhan, dan dia mengikutinya dengan enam hari bulan Syawal ; sebab dia tidak dianggap berpuasa Ramadhan kecuali bila dia menyempurnakannya, atas dasar ini maka tidak ditetapkan pahala puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang mengerjakannya padahal dia masih punya tanggungan hutang puasa Ramadhan.

Masalah ini bukanlah termasuk hal diperselisihkan ulama tentang bolehnya puasa nafilah (sunah) bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib, karena perselisihan itu terjadi pada puasa selain enam hari tersebut, sedangkan tentang enam hari yang mengikuti Ramadhan tidak mungkin ditetapkan pahalanya kecuali bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan.


[Disalin dari kitab Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab Shiyam, Bab Disukainya puasa enam hari bulan Syawal (1164)

As-Sunnah Dan Difinisinya

As-Sunnah Dan Difinisinya

Kategori As-Sunnah Dalam Islam

Rabu, 9 Nopember 2005 09:28:02 WIB

AS-SUNNAH DAN DEFINISINYA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas






Kedudukan As-Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum Muslimin mulai dari masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in sampai zaman sekarang ini dan sampai hari Kiamat merupakan suatu kenyataan yang diterima sebagai kebenaran yang pasti dan tidak perlu dibuktikan lagi serta tidak dapat diragukan. Barangsiapa yang menela’ah Al-Qur-an dan As-Sunnah, niscaya akan menemukan besarnya pengaruh As-Sunnah dalam pembinaan syari’at Islam dan keagungan serta keabadiannya yang tidak mungkin diingkari oleh pakar-pakar yang mengerti masalah ini.

Pembinaan hukum yang luhur diakui oleh para ahli ilmu di segala penjuru dunia. Kekaguman mereka menjadi bertambah apabila mempelajari As-Sunnah dengan sistem sanad yang telah dipaparkan oleh para ahli hadits, rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ahli hadits telah diteliti dan diuji serta mereka menulis kitab-kitab jarh wat ta’dil tentang para perawi hadits, hingga dengan cara demikian dapat dibedakan mana hadits yang shahih, dha’if dan maudhu’.

Namun, di samping adanya ulama yang berjuang membela As-Sunnah, ada pula orang-orang yang merongrong terhadap Islam, mereka menolak As-Sunnah, meragukan hujjah As-Sunnah serta meragukan pula pengumpulan hadits dan penyampaian riwayat dari para Shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Dalam pandangan sesat inilah terdapat persesuaian antara penentang-penentang Islam dari kalangan orang-orang kafir, munafiq dan kaum orientalis.

Perjuangan musuh-musuh Islam terus berlanjut dari zaman para Shahabat ridhwanullaahu ‘alaihim sampai hari ini. Mereka berusaha memadamkan cahaya Islam, menghancurkan segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, membunuh dan memenjarakan penyebar panji Islam serta memutar-balikkan fakta sejarah Islam yang benar. Tetapi Allah akan senantiasa menyempurnakan cahaya Islam.

“Artinya : Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8]

Ironisnya, justeru para penentang Islam dewasa ini di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang dianggap ulama dan cendekiawan yang mereka terpengaruh dan diperalat oleh musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani serta para orientalis yang menghancurkan Islam.

Adapun sebab-sebab terjeratnya sebagian tokoh kaum Muslimin oleh kaum orientalis Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas menentang Islam adalah:

[a]. Mereka tidak menguasai hakekat Islam yang diwariskan dan tidak menelaahnya dari sumber-sumber yang asli, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

[b]. Tertipu oleh “sistematika-sistematika ilmiah yang semu” yang mengundang mereka kepada konflik.

[c]. Ada keinginan supaya terkenal sebagai ahli fikir, pakar atau supaya dikatakan sebagai tokoh cendekiawan, tujuannya mencari popularitas dunia.

[d]. Dirinya dikuasai oleh hawa nafsu sehingga pemikirannya yang sesat tidak dapat bergerak melainkan hanya mengekor kepada kaum orientalis.

[e]. Mereka berambisi untuk mendapatkan harta yang banyak, kedudukan dan pangkat, sehingga mereka menyembunyikan kebenaran ayat-ayat Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya mereka menentang api Neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurun-kan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesung-guhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” [Al-Baqarah: 174-176].[1]

Tidak diragukan lagi bahwa pertentangan yang ter-jadi antara umat Islam dan penentang-penentangnya tidak akan selesai dan berhenti begitu saja sebelum mak-sud jahat mereka terbongkar dan terkalahkan. Pertentangan ini berlangsung antara haq dan hawa nafsu, antara ilmu dan kebodohan, antara lapang dada dan dendam, serta antara cahaya dan kegelapan.

Menurut Sunnatullaah, kebenaran, ilmu, sikap lapang dada dan cahaya itu selamanya pasti menang, sebagai-mana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.

“Artinya : Bahkan Kami (Allah) melemparkan yang haq itu atas kebathilan, sehingga yang haq itu menghancurkannya dan musnahlah kebathilan itu. Dan kecelakaanlah bagi-mu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak).” [Al-Anbiyaa’: 18]

Di antara tokoh-tokoh yang menentang Sunnah adalah Mahmud Abu Rayyah dalam buku Adhwaa-u ‘alas Sunnah Muhammadiyyah, Dr. Thaha Husain, Dr. ‘Ali Hasan ‘Abdul Qadir, Anderson, Goldzieher, Schacht, Har Gibb, Philip K. Hitti, Dr. Taufiq Shidqi dalam maka-lahnya: al-Islam Huwal Qur-aan Wahdah, dan selainnya.[2]

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_________
Foote Note
[1]. Lihat juga surat Al-Baqarah ayat 159-160
[2]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri' Islami oleh Dr. Mushtahafa As-Siba'i, cetakan Al-Maktab Al-Islami th 1398H, atau pada hal. 15-37, cetakan I/Daarul Warraaq th 1419H. Diraasat fil Hadits An-Nabawy (hal. 26), Dr Muhammad Musthafa Al-A'zhumy, Difaa' 'anis Sunnah, Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.


Hukum Para Penjual Yang Melakukan Kepemilikan Uang Muka

Hukum Para Penjual Yang Melakukan Kepemilikan Uang Muka

Kategori Fatawa Jual Beli

Kamis, 10 Nopember 2005 08:28:08 WIB

HUKUM PARA PENJUAL YANG MELAKUKAN KEPEMILIKAN UANG MUKA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta





Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Banyak dari para penjual melakukan kepemilikan uang muka pada saat jual beli tidak terjadi. Apa hukumnya ?

Jawaban
Jual beli dengan uang muka itu boleh. Yaitu, pembeli membayarkan uang kepada penjual atau wakilnya, yang jumlahnya lebih sedikit dari harga yang harus dibayarkan setelah transaksi jual beli ditetapkan, untuk mejamin barang dagangan tersebut, agar tidak diambil orang lain. Dan jika pembeli itu mengambil tersebut maka uang muka itu sudah masuk dalam hitungan harga.

Dan jika dia tidak mengambil barang tersebut, maka penjual boleh mengambil dan menjadikannya sebagai hak milik. Jual beli dengan uang muka ini dibenarkan, baik diberi batasan waktu pembayaran sisa harga yang harus dibayarkan atau tidak diberikan batasan waktu. Dan yang menujukkan dibolehkannya jual beli dengan uang muka ini adalah apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Imam Ahmad pernah berbicara mengenai uang muka ini : “Tidak ada masalah dengannya”.

Dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dimana dia membolehkan hal tersebut. Sedangkan Sa’id bin Al-Musyyab dan Ibnu Sirin mengatakan : “Tidak ada masalah dengannya”. Dia memakruhkan dikembalikannya barang dagangan yang disertai dengan sesuatu.

Adapun hadits yang diriwayatkan dai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau melarang jual beli dengan uang muka [1] adalah hadits dhaif, yang dinilai dha’if oleh Imam Ahmad dan yang lainnya. Sehingga hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 2 dan ke 3 dari Fatwa Nomor 19637. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. HR Malik di dalam kitab Al-Muwaththa’ II/609, Ahmad II/183, Abu Dawud III/768 nomor 3502, Ibnu Majah II?738 dan 739 Nomor 2192 dan 2193, Al-Baihaqi V/342, Ibnu ‘Adi (Al-Kaamil) IV/15 Terjemah Nomor 977, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah VIII/135 Nomor 2106

Mentaati Orang Tua Dalam Kebaikan Adalah Kewajiban Terpenting

Mentaati Orang Tua Dalam Kebaikan Adalah Kewajiban Terpenting

Kategori Birrul Walidain

Jumat, 11 Nopember 2005 06:35:00 WIB

MENTAATI ORANG TUA DALAM KEBAIKAN ADALAH KEWAJIBAN TERPENTING


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya menolak permintaan ibu saya saat saya sedang memiliki pekerjaan-pekerjaan penting. Hukumnya bagaimana ?

Jawaban
Berbakti kepada kedua orang tua, selalu mendengar kan dan mentaati mereka dalam kebajikan adalah kewajiban terpenting. Anda wajib memperhatikan hak ibu anda dan berusaha untuk membuatnya senang tanpa mendurhakainya dalam kebajikan. Kalau perkerjaan yang sedang anda hadapi hukumnya wajib sehingga berlawanan dengan permintaan ibu anda, segera beritahukan kepadanya dan minta ma’af, lalu tunaikan apa yang menjadi kewajiban anda. Kalau masih memungkinkan untuk mendahulukan apa yang menjadi permintaan ibu anda tanpa membahayakan diri anda dengan tertundanya kewajiban anda, dahulukan keperluan orang tua anda tersebut, karena berbakti kepada ibu itu jauh lebih penting.

Namun kalau itu tidak mungkin, dahulukan yang lebih penting yang apabila tertunda akan menyebabkan hilang kesempatan mengamalkannya, berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Dan bertakwalah kepda Allah semampumu” [At-Taghaabun : 16]


BERBUAT BAIK KEPADA NENEKNYA SETELAH NENEKNYA MENINGGAL

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya mempunyau seorang nenek yang sudah meninggal, dan dia sangat berjasa terhadap diri saya, sehingga rasanya tidak mungkin saya melupakan (jasa-jasanya). Apa yang harus saya lakukan sebagai balas budi, agar saya masih bisa berbuat baik kepada nenek saya yang sudah meninggal tersebut ?

Jawaban
Disayariatkan bagi anda untuk mendo’akan dan meminta ampun untuknya, serta bershadaqah, haji, dan umrah untuk dia. Insya Allah hal ini akan bermanfaat baginya, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amal baik anda dan memberikan pahala kepada anda.

Diantara kewajban anda kepadanya adalah anda menunaikan wasiat apabila dia berwasiat yang sesuai dengan syari’at, memuliakan teman-temannya, dan menyambung tali silaturahmi kepada kerabat-kerabatnya, seperti anak-anaknya (paman dan bibi anda) dan cucu-cucunya (sepupu anda). Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Masih bisakah saya berbuat baik kepada kedua orang tua saya yang sudah meninggal ?” Beliau menjawab : “Ya, engkau bisa bershalawat/berdoa untuk kedua orang tuamu, memintakan ampun untuk mereka, menunaikan janji/amanah mereka, memuliakan teman-teman mereka, dan menyambung silaturahmi (kepada kerabat-kerabatnya), dimana silaturahmi tersebut hanya engkau lakukan karena kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Abu Dawud]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal & Tsani, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan – Solo]

Pendapat Imam Malik Tentang Sahabat

Pendapat Imam Malik Tentang Sahabat

Kategori I'tiqad Al-A'immah

Sabtu, 12 Nopember 2005 11:19:32 WIB

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG SAHABAT


Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais





[1]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah al-Anbari, katanya: “Siapa yang merendahkan derajat seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau ia merasa tidak senang, maka ia tidak punya hak untuk dilindungi oleh umat Islam.” Kemudian beliau membaca ayat.

“Artinya : Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan kebencian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” [Al-Hasyar : 10][1]

Imam Malik kemudian berkata: “barangsiapa marah kepada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia telah terkena ayat ini.”

[2]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari salah seorang putra az-Zubair, katanya: “Kami berada di tempat Malik. Kemudian orang-orang menyebut-nyebut seseorang yang merendahkan martabat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Imam Malik membaca ayat:

“Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying sesame mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan menjadi tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnyakarena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min)" [Al-Fath : 29]

Imam Malik kemudian berkata: “barangsiapa marah kepada salah seorang sahabat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah terkena ayat ini.”[2]

[3]. Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dari Asyhab bin ‘Abdul Aziz, katanya: “Kami berada di tempat Imam Malik, tiba-tiba ada seorang dari golongan Alawiyin datang kepada beliau, sementara orang-orang yang ada di situ sedang mengikuti majlis pengajian Imam Malik. Orang tadi, sambil berdiri bertanya kepada beliau, “wahai Abu Abdillah” panggilan akrab untuk beliau. Imam Malik kemudian mendekati, padahal beliau itu tidak pernah menyambut lebih dari menganggukkan kepala, apabila dipanggil orang. Kemudian orang tadi berkata: “Saya ingin membuat anda menjadi hujjah (bukti kebenaran) antara saya dengan Allah, sebab apabila saya akan menghadap Allah nanti, saya akan ditanya Allah, dan saya akan menjawab: “Malik telah mengatakan hal itu.”. Imam Malik lalu berkata: “Baik, silahkan apa yang hendak anda tanyakan!” Orang tadi brkata: “Siapakah yang peling mulia sesudah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Beliau menjawab: “Abu Bakar.” Orang Alawiyin tadi bertanya lagi: “Lalu siapa?” Dijawab, “Umar”. “Kemudian siapa lagi?”, Tanya orang tadi. Imam Malik menjawab: “Kemudian Khalifah yang terbunuh secara didzalimi, yaitu Utsman.” Orang tadi lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan duduk di sampingmu selamanya”. “Ya silakan., Anda bebas”. Jawab Imam Malik.[3]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Hilyah VI/327
[2]. Al-Hilyah, VI/327
[3]. Tartib Al-Madarik, II/44-45

Bagaimana Tukang Sihir Itu Menghadirkan Jin ? Cara Sulfiyah, Cara Najasah, Cara Tankis, Cara Tanjim

Bagaimana Tukang Sihir Itu Menghadirkan Jin ? Cara Sulfiyah, Cara Najasah, Cara Tankis, Cara Tanjim

Kategori Sihri Wal Kahaanah

Minggu, 13 Nopember 2005 08:47:19 WIB

BAGAIMANA TUKANG SIHIR ITU MENGHADIRKAN JIN ?


Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan 2/3






KETIGA : CARA SULFIYAH [MELAKUKAN KENISTAAN]
Cara ketiga ini sangat populer dikalangan para tukang sihir dengan sebutan sulfiyah. Tukang sihir yang menggunakan cara ini memiliki banyak syaitan yang mengabdi kepadanya dan menjalankan semua perintahnya, karena dia sebagai tukang sihir yang paling kufur dan paling ingkar, semoga Allah melaknatnya.

Cara ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tukang sihir mudah-mudahan Allah melaknatnya secara terus menerus- meletakkan mushaf di kedua kakinya dalam posisi seperti sepatu. Kemudian dengan posisi al-Qur’an seperti itu, si penyihir itu masuk WC, lalu mulai membaca mantra di dalam WC, selanjutnya keluar lagi dan duduk di sebuah ruangan, setelah itu dia akan meyuruh jin untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya. Maka, jin pun akan segera mantaatinya dan menjalankan semua perintahnya. Hal itu tidak lain karena tukang sihir itu telah kufur kepada Allah yang Maha Agung. Sehingga dengan demikian dia telah menjadi salah satu saudara syaitan, dan karenanya dia telah benar-benar merugi dan akan mendapatkan laknat dari Allah, Rabb seru sekalian alam.

Bagi tukang sihir yang menggunakan cara sulfiyah ini, disyaratkan harus melakukan sejumlah perbuatan dosa besar -selain yang telah kami sebutkan- misalnya, menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, melakukan hubungan sesama jenis, melakukan perzinahan, atau mencela agama. Semuanya itu dimaksudkan untuk mencari keridhaan syaitan.

KEEMPAT : CARA NAJASAH [MENULIS AYAT-AYAT AL-QUR'AN DENGAN BENDA NAJIS]
Dalam cara ini seorang penyihir akan menulis salah satu surat dalam al-Qur’an al-Karim dengan menggunakan darah haid atau benda-benda najis lainnya, dan setelah itu membaca mantra, hingga jin muncul, untuk selanjutnya ia perintahkan apa saja yang ia kehendaki.

Kekufuran denga cara ini sudah sangat jelas dan tidak tersembunyi lagi, karena penghinaan dan pencemoohan terhadap salah satu surat atau bahkan satu ayat al-Qur’an al-Karim merupakan bentuk kekufuran kepada Allah yang Maha Agung. Lalu bagaimana pendapat anda jika ayat-ayat al-Qur’an itu ditulis dengan benda-benda najis, kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Dan kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala mudah-mudahan Dia meneguhkan hati kita untuk selalu berdiri tegak di atas keimanan serta mewafatkan kita dalam keislaman, dan menggolongkan kita termasuk dari golongan manusia terbaik, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam

KELIMA : CARA TANKIS [MENULIS AYAT-AYAT AL-QUR'AN SECARA TERBALIK]
Menurut cara ini, tukang sihir -semoga Allah melaknatnya- menulis salah satu surat al-Qr’an al-Karim dengan huruf-huruf terpisah dan terbalik, yaitu ditulis bagian akhirnya dulu baru kemudian bagian awalnya. Setelah itu dia membaca mantra yang berbau syirik, sehingga jin pun datang, lalu dia menyuruhnya melakukan apa yang dia inginkan.

Cara ini pun jelas haram, karena didalamnya mengandung unsur kesyirikan dan kekufuran.

KEENAM : CARA TANJIM [MENYEMBAH BINTANG]
Cara ini disebut juga ar-rashd, karena dengan cara ini seorang tukang sihir akan memantau munculnya bintang tertentu, kemudian berbicara dengan bintang tersebut dengan membaca mantra-mantra sihir, selanjutnya membacakan mantra lain yang mengandung kesyirikan dan kekufuran kepada Allah. Setelah itu, dia melakukan beberapa gerakan –yang dia akui gerakan-gerakan itu dapat menurunkan spiritual bintang-bintang- padahal sebenarnya hal itu merupakan bentuk penyembahan bintang tersebut selain dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun orang yang melakukan gerakan tersebut tidak menyadarinya. Demikianlah ibadah sekaligus pengagungan terhadap dzat selain Allah. Pada saat itu, syaitan-syaitan akan menyambut dan menjalankan semua perintah tukang sihir terlaknat itu, sehingga dia mengira bahwa bintang itulah yang membantunya, padahal bintang itu tidak mengetahui sedikit pun mengenai hal tersebut. Para tukang sihir tersebut mengaku bahwa sihir itu tidak akan bisa diobati kecuali jika bintang itu muncul, lagi pada waktu yang lain[1]. Di sana terdapat beberapa bintang yang tidak muncul, kecuali sekali dalam setahun, sehingga mereka harus menunggu kemunculannya, dan setelah muncul baru mereka akan membaca mantra-mantra yang meminta pertolongan kepada bintang untuk menghilangkan sihir tersebut.

Tidak ada yang tertutup lagi bahwa pada cara tersebut terdapat unsur pengagungan kepada selain Allah dan meminta pertolongan kepada selain-Nya. Dan sudah pasti semuanya itu merupakan perbuatan syirik, apalagi mantra-mantranya yang berbau kekufuran.


[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
_________
Foote Note
[1]. Yang demikian itu menurut para tukang sihir. Tetapi orang-orang yang melakukan pengobatan dengan al-Quran, sihir tersebut dapat dihilangkan seketika berkat karunia Allah Ynag Maha besar lagi Mahatinggi .

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Kategori Al-Qur'an - Tafsir

Selasa, 15 Nopember 2005 13:54:04 WIB

TAFSIR SURAT AL-IKHLASH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Bismillahirrahmaanirrahiim

Allah berfirman.
Artinya :
“Katakanlah : “Dialah Allah, Yang Maha Esa” [Al-Ikhlash : 1]
“Allah adalah Ilah yang bergantung kepadaNya segala urusan” [Al-Ikhlash : 2]
“Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan” [Al-Ikhlash : 3]
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]

Mengenai “basmalah” telah berlalu penjelasannya.

Sebab turunnya surat ini adalah, ketika orang musyrik atau orang Yahudi berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Beritakan kepada kami sifat Rabb-mu!” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini [1]

Qul = “Katakanlah”. Pernyataan ini ditujukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. “Huwa Allahu ahad” = “Dialah Allah Yang Maha Esa”. Menurut ahli I’rab, huwa adalah dhamir sya’n, dan lafdzul jalalah Allah khabar mubtada dan “Ahadun” khabar kedua. ‘Allahu Ash-Shomad’ kalimat tersendiri. “Allahu Ahadun” Yakni, Dia adalah Allah yang selalu kamu bicarakan dan yang selalu kamu memohon kepada-Nya. “Ahadun”. Yakni, Yang Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan-Nya, yang tiada bandingan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Bahkan Dia Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan. “Allahu Ash-Shomad” adalah kalimat tersendiri Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dia Ash-Shomad. Makna yang paling mencakup iallah Dia mempunyai sifat yang sempurna yang berbeda dengan semua mahkhluk-Nya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ash-Shomad ialah yang sempurna Keilmuan-Nya, Yang sempurna Kesantunan-Nya, Yang sempurna Keagungan-Nya, Yang sempurna Kekuasaan-Nya. Sampai akhir perkatan-Nya [2]. Ini artinya bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk karena Dia Maha Sempurna. Dan juga tertera dalam tafsir bahwasanya As-Shamad ialah yang menangani semua urusan makhlukNy-Nya. Artinya, Bahwa seluruh makhluk sangat bergantung kepada Allah Ta’ala. Jadi, arti yang paling lengkap ialah : Dia Maha Sempurna dalam sifat-sifat-Nya dan seluruh makhluk sangat bergantung kepada-Nya.

“Lam yaalid”. Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mempunyai anak karena Dia adalah Dzat Yang Maha Muali dan Maha Agung, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuanya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Ia adalah bahagian dari diriku” [3]

Allah Azza wa Jalla tidak ada yang serupa dengan-Nya. Anak merupakan salah satu kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan dunia maupun untuk menjaga kesinambungan keturunan. Allah Azzan wa Jalla tidak memerlukan itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Allah Azza wa Jalla tidak memerlukan seorang dari makhluk-Nya. Allah telah mengisyaratkan bahwa mustahil bagi-Nya mempunyai anak, seperti dalam firman-Nya.

“Artinya : Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri ? Dia menciptakan segala sesuatu ‘ dan Dia mengetahui segala sesuatu” [Al-An’am : 101]

Seorang anak membutuhkan orang yang melahirkannya.

Demikianlah, Allah adalah Dzat Yang Menciptakan segala sesuatu. Jika Allah menciptakan segala sesuatu berarti Dia terpisah dari makhluk-Nya.

Dalam firman-Nya : Lam yaalid” = “tidak beranak” merupakan bantahan terhadap tiga kelompok anak Adam yang menyimpang. Mereka adalah orang Musyrik, orang Yahudi dan orang Nasrani. Orang musyrik meyakini bahwa malaikat yang mereka itu ‘Ibadur Rahman’ berjenis perempuan. Mereka mengatakan bahwa malaikat tersebut adalah anak perempuan Allah. Orang Yahudi mengatkan ‘Uzair adalah anak Allah, dan orang Nasrani mengatakan Al-masih adalah anak Allah. Kemudian Allah mengingkari mereka semua dengan firman-Nya “Lam yaalid wa lam yuu lad” = “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan”, karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Pertama, tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya, bagaimana mungkin dikatakan bahwa Dia dilahirkan.

Firman Allah.

“Artinya : Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]

Yaitu tidak ada sesuatu pun yang menyamai seluruh sifat-sifat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan Dirinya mempunyai ayah atau Dia dilahirkan atau ada yang semisal dengan-Nya.

Sureat ini mempunyai keistimewaan yang sangat agung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bahwa ia (surat Al-Ikhlash) menyamai sepertiga Al-Qur’an” [4]

Surat ini menyamai sepertiga Al-Qur’an tetapi tidak dapat menggantikan sepertiga Al-Qur’an tersebut. Dalilnya, kalau seorang membaca surat ini sebanyak tiga kali di dalam shalat, masih belum mencukupi sebelum ia membaca surat Al-Fatihah. Padahal jika ia membacanya tiga kali, seolah-olah ia membaca semua Al-Qur’an, tetapi tidak dapat mencukupinya. Jadi, kamu jangan heran ada sesuatu yang sebanding tetapi tidak mencukupi. Misalnya sabda Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa membaca :

“Artinya : Tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu”

Seakan-akan ia telah membebaskan empat orang budak dari keuturunan Isma’il atau dari anak Ismail” [5]

Padahal jika ia berkewajiban untuk membebaskan empat orang hamba, dengan mengatakan dzikir ini saja tidak cukup untuk membebaskan dirinya dari kewajiban membebaskan hamba tersebut. Oleh karena itu, sam bandingnya sesuatu belum tentu dapat menggantikan posisi yang dibandingkan.

Surat ini dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada raka’at kedua shalat sunnah Fajr, shalat sunnah Maghrib dan shalat sunnah Thawaf [6]. Begitu juga beliau membacanya dalam shalat witir [7], karena surat ini merupakan landasan keikhlasan yang sempurna kepada Allah, inilah sebabnya dinamai dengan surat Al-Ikhlash.

[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad (5/133), At-Tirmidzi dalam Kitab Tafsir, bab : Surat Al-Ikhlash, no. (3364)
[2]. Hadits riwayat Ath-Thabrany dalam Tafsirnya (30/346). Dan Al-Baihaqy dalam Asma Wash Shiafat hal. 58-59
[3]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab : Budi pekerti kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Fatimah Radhiyallahu ‘anha no. (3714). Dan Muslim dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab : Fadhilah Putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, no (2449) (93).
[4]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam Kitab Fadhilah Al-Qur’an, bab : Fadhilah “Qul Huwa Allahu Ahad” no. (5015) Dan Muslim dalam kitab Shalat Para Musafir, bab : Fadhilah membaca “Qul Huwa Allahu Ahad”, no. (811) (30)
[5]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Dzikir, bab : Fadhilah Tahlil, no. (2693) (30)
[6] Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Hadits riwayat At-Tirmidzi, dalam Bab-bab Witir, bab : Bacaan yang dibaca dalam shalat witir, no. (463). Ia berkata : “hadits ini hasan gharib”.

Makna As-Sunnah Dalam Syari'at Islam. Menurut Etimologi [Bahasa]

Makna As-Sunnah Dalam Syari'at Islam. Menurut Etimologi [Bahasa]

Kategori As-Sunnah Dalam Islam

Rabu, 16 Nopember 2005 09:02:31 WIB

MAKNA AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM, MENURUT ETIMOLOGI [BAHASA]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas






[A]. MENURUT ETIMOLOGI [BAHASA]

Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata:

"sanna-yasinnu-wayasunnu-sannaa fahuwa masnuunu wajam'uhu sunanu. wasanna al-amro aiy bayyanah"

[a]. Artinya: “Menerangkan.”

"wa sunnatu : ash-shiiratu wa thobiia'tu wa thoriiqotu"

[b]. Sunnah artinya: “Sirah, tabi’at, jalan.”

"wa sunnatu min Allahi : hukmuhu wa amruhu wa nahyuhu"

[c]. Sunnah dari Allah artinya: “Hukum, perintah dan larangan-Nya."[1]

Menurut bahasa, kata As-Sunnah berarti jalan, atau tuntunan baik yang terpuji maupun yang tercela, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun".[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya kalian akan menempuh jalan (mencontoh) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki lubang biawak sekalipun, kalian akan ikut memasukinya"[3].

Bila disebut Sunnatullaah, artinya adalah hukum-hukum Allah, perintah dan larangan-Nya yang dijelaskan kepada manusia.

Allah al-Hakiim berfirman.

"Artinya : Sunnatullaah tentang orang-orang sebelummu...” [Al-Ahzaab: 62]

Di antara lafazh Sunnah dalam Al-Qur-an yang berarti jalan, cara yang baik atau buruk.

Allah al-‘Aziiz berfirman.

"Artinya : Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang-orang sebelummu...” [An-Nisaa’: 26]

Yakni, Allah akan menunjukkan kepada kalian cara-cara orang sebelum kalian, yaitu cara (perjalanan hidup) mereka yang terpuji.[4]

Terkadang pula Sunnah bermakna balasan dari perbuatan tercela, yaitu Sunnah-Nya tentang pembinasaan ummat-ummat yang durhaka kepada Rasul-Rasul-Nya.

Di antaranya firman Allah.

"Artinya : Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir apabila mereka berhenti dari kekufuran mereka, maka Allah akan ampunkan dosa-dosa mereka yang terdahulu. Jika mereka kembali (berbuat kejelekan), maka telah berlaku Sunnah bagi orang-orang terdahulu.” [Al-Anfaal: 38]

Dan firman-Nya.

"Artinya : Mereka itu tidak beriman kepada Nabi padahal telah lalu Sunnah terhadap orang-orang terdahulu." [ Al-Hijr: 13]

Sunnah di sini maksudnya adalah balasan Allah tentang pembinasaan ummat-ummat yang durhaka kepada Rasul-Rasul-Nya. [5]


[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_________
Foote Note.
[1]. Al-Qamusul Muhith (IV/231), Lisanul Arab (VI/399-400) dan Mukhtaarush Shihaah (hal. 317).
[2]. Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/357, 358, 359, 360, 361, 362), Muslim (no. 1017), an-Nasa'i (V/76-77), ad-Darimi (I/ 130-131), Ibnu Majah (no. 203), Ibnu Hibban (no. 3308), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahih Ibni Hibban (no. 3297), ath-Thahawi dalam al-Musykiil (no. 243), ath-Thayalisi (no. 705) dan al-Baihaqi (IV/175-176), dari Shahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu.
[3]. Hadits shahih riwayat Ahmad (III/84, 89), al-Bukhari (no. 3456, 7320), Muslim (no. 2669) dan Ibnu Majah (no. 3994), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu.
[4]. Tafsir Ibni Katsiir (I/522) dan Tafsir Fat-hul Qadir (I/452).
[5]. Lihat tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/341 dan 602).

Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad

Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad

Kategori As-Saa'ah - Ad-Dajjal

Kamis, 17 Nopember 2005 09:39:25 WIB

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG IBNU SHAYYAD


Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA




Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata, "Yang benar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal berdasarkan dilalah (petunjuk / dalil) terdahulu, dan tidak ada yang menghalanginya untuk berada di pulau tersebut pada waktu itu dan berada di tengah-tengah para, sahabat pada waktu itu yang lain." [At-Tadzkiroh. 702]

Imam Nawawi berkata, "Para ulama mengatakan, "Kisahnya sangat musykil (sukar difahami) dan masalahnya samar-samar, apakah dia itu Al-Masih Ad-Daijal yang terkenal itu ataukah lainnya? Tetapi tidak disangsikan lagi bahwa dia adalah salah satu Dajjal (pendusta besar) di antara dajjal-dajjal."

Para ulama itu mengatakan, "Zhahir hadits-hadits itu menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mendapat wahyu yang menerangkan apakah Ibnu Shayyad itu Al-Masih Ad-Dajjal atau bukan, tetapi beliau hanya mendapat wahyu mengenai ciri-ciri Dajjal, sedangkan pada diri Ibnu Shayyad ada kemiripan dengan ciri-ciri tersebut. Karena itu Nabi saw tidak memastikan Ibnu Shayyad itu sebagai Dajjal atau bukan. Dan karena itu pula beliau berkata kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu, "Jika Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal, maka engkau tidak akan dapat membunuhnya." Adapun alasan Ibnu Shayyad bahwa dia itu muslim sedang Dajjal itu kafir, bahwa Dajjal tidak punya anak sedang dia punya anak, dan bahwa Dajjal tidak akan dapat memasuki kota Makkah dan Madinah sedang dia (Ibnu Shayyad) telah memasuki kota Madinah dan sedang menuju ke Makkah, maka alasannya itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal, karena Nabi saw hanya memberitahukan tentang ciri-cirinya pada waktu ia menyebarkan fitnah dan keluar dari bumi. Dan di antara kemiripan ceritanya dan keberadaannya sebagai salah seorang Dajjal pembohong ialah perkataannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, " Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah utusan Allah." Dan pengakuannya bahwa dia didatangi oleh seorang yang jujur dan seorang pembohong, bahwa dia melihat 'Arsy di atas air, dia tidak benci kalau ia sebagai Dajjal, dia mengetahui tempatnya. dan perkataannya, " Sesungguhnya aku mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta di mana ia sekarang berada," dan kesombongannya yang memenuhi jalan. Adapun dia menampakkan Islamnya, argumentasinya, jihadnya, dan penghindarannya dari anggapan sebagai Dajjal tidak tegas menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal." [Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi 18: 46-47]

Perkataan Imam Nawawi di atas dapat difahami bahwa beliau menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal.

Imam Syaukani berkata, "Orang-orang berbeda pendapat mengenai masalah Ibnu Shayyad dengan perbedaan yang tajam, dan memang perkaranya sangat musykil sehingga timbul berbagai pendapat. Dan zhahir hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa sangsi apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan, maka keraguan beliau ini dapat dijawab dengan dua jawaban.

Pertama.
Bahwa keragu-raguan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah sebelum Allah memberitahukan kepada beliau bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Maka ketika Allah telah memberitahukan hal itu kepada beliau, beliau tidak mengingkari sumpah Umar.

Kedua.
Bangsa Arab kadang-kadang mengucapkan kata-kata. dengan nada ragu-ragu, meskipun berita itu tidak meragukan.

Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa Ibnu Shayyad itu Dajjal ialah riwayat yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dengan isnad yang shahih dari Ibnu Umar, ia berkata, "Pada suatu hari saya berjumpa Ibnu Shayyad bersama Yahudi. dan ternyata sebelah matanya tuna netra dan tersembul keluar seperti mata himar. Ketika saya melihatnya, saya bertanya, "Wahai Ibnu Shayyad, saya minta engkau bersaksi karena Allah, sejak kapankah matamu buta?" la menjawab, "Saya tidak tahu, demi Tuhan Yang Rahman." Saya berkata, "Engkau berdusta, bagaimana mungkin engkau tidak tahu sedangkan mata itu ada di kepalamu?" Lalu ia mengusapnya dan menarik nafas panjang tiga kali." [Nailul Author Syarh Muntaqa Al-Akhbar 7: 230-231 oleh Asy-Syaukani, terbitan Musthafa Al-Babi, Mesir]

Riwayat serupa juga telah disebutkan di muka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Perkataan Imam Syaukani ini menyiratkan makna bahwa beliau sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yang besar (yang bakal muncul pada akhir zaman).

Dalam mengomentari hadits Tamim ini Al-Baihaqi berkata, "Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa Dajjal terbesar yang akan keluar pada akhir zaman itu bukanlah Ibnu Shayyad, dan Ibnu Shayyad adalah salah satu dari dajjal-dajjal pembohong yang diberitahukan oleh Rasulullah saw akan kemunculannya, dan sebagian besar mereka telah muncul. Seolah-olah orang yang menetapkan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal (terbesar), mereka tidak mendengar kisah Tamim. Sebab, jika tidak demikian, maka mengkompromikan antara keduanya sangat jauh (tidak mungkin), karena bagaimana dapat disesuaikan antara orang yang ketika Nabi saw masih hidup dia baru menginjak dewasa dan bertemu dengan beliau serta ditanya oleh beliau, tetapi kemudian menjadi seorang yang sudah tua sekali dan di penjara di sebuah pulau di tengah lautan dengan dirantai besi, dan dia menanyakan tentang Nabi saw apakah beliau sudah muncul ataukah belum. Maka pendapat yang lebih cocok ialah tentang tidak adanya kejelasan yang pasti. Adapun sumpah Umar, maka boleh jadi hal itu dilakukannya sebelum ia mendengar kisah Tamim. Kemudian setelah mendengarnya, ia tidak berani lagi mengulangi sumpahnya. Adapun Jabir mcngemukakan sumpahnya di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah karena ia tahu Umar bersumpah di sisi Nabi saw, lantas ia mengikutinya." [Fathul-Bari 13: 326-327]

Saya berkata, "Tetapi Jabir Radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang perawi hadits Tamim sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ketika beliau meriwayatkan kisah Al-Jassasah dan Dajjal seperti kisah Tamim." Kemudian Ibnu Abi Salamah berkata. "Sesungguhnya dalam hadits ini terdapat sesuatu yang tidak saya hafal. Katanya. "Jabir bersaksi bahwa Dajjal adalah Ibnu Shaaid." Saya (Ibnu Abi Salamah) berkata. "la (Ibnu Shaaid) telah meninggal dunia." Ia menjawab, "Meskipun lelah meninggal dunia." Saya berkata, "Ia telah masuk Islam." la menjawab, "Meskipun ia telah masuk Islam." Saya berkata, "Ia telah memasuki kota Madinah." la menjawab, "Meskipun ia pernah memasuki kota Madinah." [Sunan Abu Daud dengan Syarahi 'Aunul Ma ‘bud Kitab Al-Malahim, Bab Fi Khobar Al-Jassasah 11: 476]

Maka Jabir ra tetap berpendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. meskipun ada yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad telah masuk Islam, pernah memasuki kota Madinah. dan telah meninggal dunia. Dan telah disebutkan di muka bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas."

Ibnu Hajar berkata, "Abu Nu'aim Al-Ashbahani meriwayatkan dalam Tarikh Ashbahan yang memperkuat pendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. lalu beliau membawakan riwayat dari jalan Syubail bin Urzah dari Hassan bin Abdur Rahman dari ayahnya, ia berkata. "Ketika kami menaklukkan Ashbahan, maka jarak antara lasykar kami dengan Yahudi hanya satu farsakh, maka kami datangi tempat itu dari arah yang sesuai dengan pilihan kami. Pada suatu hari saya datang ke sana, ternyata orang-orang Yahudi sedang berpesta dan memukul gendang, lalu saya bertanya kepada teman saya dari golongan mereka. Kemudian dia menjawab, "Raja kami yang kami mintai pertolongan untuk mengalahkan bangsa Arab sedang tiba." Lalu saya bermalam di loteng rumah teman saya itu, kemudian saya melakukan shalat Shubuh. Ketika matahari terbit, terjadilah keributan di kalangan tentara, lalu saya lihat, ternyata ada seorang lelaki yang memakai kopiah dari tumbuh-tumbuhan yang harum, dan orang-orang Yahudi berpesta memukul gendang. Setelah saya perhatikan ternyata dia Ibnu Shayyad, lantas dia masuk Madinah dan tidak kembali lagi hingga datangnya As-Sa'-ah." [Dzikir Akhbar Ashbahan: 387-388 oleh Abu Nu'aim; Fathul-Bari 3: 327-328]

Ibnu Hajar berkata, "Tidak ada relevansi antara riwayat Jabir (yang kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas) ini dengan riwayat Hassan bin Abdur Rahman, sebab penaklukan Ashbahan itu terjadi pada masa kekhalifahan Umar sebagaimana diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Tarikhnya (Tarikh Ashbahan), sedang antara masa terbunuhnya Umar dengan peristiwa musim panas itu berselang waktu sekitar empat puluh tahun. Maka boleh jadi peristiwa itu disaksikan oleh ayah Hassan setelah berlalunya penaklukkan Ashbahan sekian lama. Dan di dalam pemberitaan yang menggunakan kata-kata ketika (lammaa) pada kalimat ketika kami telah menaklukkan Ashbahan ada bagian kalimat syarat ketika.... yang ditaqdirkan berbunyi: "Kami mengadakan perjanjian (ikatan) dengannya dan saya sering pulang balik ke sana," lalu terjadi peristiwa Ibnu Shayyad. Maka masa penaklukan Asbahan dan masuknya Ibnu Shayyad ke Madinah tidaklah dalam satu waktu."[Fathul-Bari 3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah Ibnu Shayyad ini merupakan sesuatu yang musykil (sulit) bagi sebagian sahabat. lalu mereka mengiranya Dajjal. sedangkan Nabi saw tawaqquf (diam saja) mengenai masalah ini sehinngga nyata sesudahnya bahwa dia bukan. Dajjal, melainkan sejenis dukun yang berperikeadaan syetan., karena itu beliau pergi ke sana untuk mengujinya. [Periksa Al-Furkon Baina auliyair rahman wa Auliyaisy-syaiton: 77, cetakan kedua, tahun 1375 H, Terbitan Mathabiur Riyadh]

Ibnu Katsir berkata,”maksudnya bahwa Ibnu Shayyad itu bukan dajjal yang kelak akan keluar pada akhir zaman, berdasarkan hadits Fatimah binti Qais Al-fihriyyah ini merupakan pemilahan dalam masalah tersebut" [An-Nihayah Fil Fitan wal malahim 1:70 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]

Itulah sejumlah pendapat ulama mengenai ibnu Shayyad Yang berbeda-beda satu sama lain dengan dalil masing-masing. Karena itulah Al-Hafizh Ibnu Hajar berusaha mengkompromikan hadits-hadits dan pendapat yang berbeda-beda itu dengan mengatakan "Kompromi yang dekat antara kandungan hadits Tamim dan keberadaan Ibnu Shayyad sebagai Dajjal ialah bahwa wujud Dajjal adalah yang disaksikan oleh Tamim dalam keadaan terbelenggu. sedang Ibnu Shayyad adalah syetan yang menyerupai diri sebagai Dajjial pada waktu itu hingga ia datang ke Ashbahan dan bersembunyi bersama temanya hingga suatu saat yang telah ditetapkan Allah baginya untuk keluar. Mengingat rumitnya masalah ini. maka Imam Bukhari menempuh tarjih (dengan menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain), sehingga beliau cakup meriwayatkan hadits Jabir dari Umar mengenai Ibnu Shayyad. dan tidak meriwayatkan hadits Fatimah binti Qais tetang kisah Tamim." [Fathul-Bari 13: 328].

[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron

Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron

Kategori Gambar Dan Permainan

Jumat, 18 Nopember 2005 15:49:41 WIB

HUKUM MENDENGARKAN MUSIK DAN LAGU SERTA MENGIKUTI SINETRON


Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu ? Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek ?

Jawaban
Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [Luqman : 6]

Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : “Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu”.

Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.

“Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”

Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a’lam.

[Fatawal Mar’ah 1/106]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]

Menyebut Hukum Potong Tangan Sebagai Tindak Pelanggaran HAM

Menyebut Hukum Potong Tangan Sebagai Tindak Pelanggaran HAM

Kategori Syubhat Dan Jawaban

Sabtu, 19 Nopember 2005 22:04:22 WIB

MENYEBUT HUKUM POTONG TANGAN SEBAGAI TINDAK PELANGGARAN HAM


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat anda terhadap orang yang mengatakan, "Sesungguhnya memotong tangan si pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki adalah sesuatu yang keras (tidak berprikemanusiaan, -pent.), dan melanggar hak asasi kaum perempuan?" Semoga Allah membalas dengan kebaikan bagi anda.

Jawaban.
Saya tegaskan terhadap orang yang mengatakan memotong tangan pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki sebagai sesuatu yang keras dan melanggar hak asasi kaum wanita, bahwa dengan perkataan ini dia telah keluar (murtad) dari Islam dan kafir terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dari hal itu. Bila dia tidak mau, maka dia mati dalam kondisi kafir, sebab hal inilah hukum Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al-Ma'idah : 50]

Allah juga telah menjelaskan hikmah di balik adanya hukum potong tangan terhadap pencuri, sebagaimana firmanNya.

"Artinya : (Sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. " [Al-Ma'idah :38]

Dia juga menerangkan hikmah di balik persaksian kaum wanita, yakni dua orang wanita dan seorang laki-laki (bila tidak ada dua orang saksi laki-laki, -pent), yaitu sebagaimana firmanNya.

"Artinya : Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. "[Al-Baqarah : 282]

Berdasarkan hal ini, maka orang yang mengatakan seperti itu harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab jika tidak, maka dia akan mati dalam kondisi kafir.

PENGUASA MUSLIM MENANGGUHKAN SEBAGIAN HUKUM HUDUD

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah seorang penguasa muslim boleh menangguhkan sebagian hukum hudud pada waktu-waktu darurat sebagaimana yang pernah diperbuat Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'ahu, ketika menggugurkan hukum had mengenai pencurian pada waktu musim paceklik?

Jawaban:
Kaum Muslimin wajib menegakkan kewajiban yang telah Allah syari'atkan pada hukum-hukum hudud sebagaimana Umar bin al-Khaththab, sendiri pernah berkata ketika sedang di atas mimbar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala menyinggung tentang hukum rajam bagi pezina yang sudah beristeri (muhshan), "Dan aku khawatir jika lama-lama orang-orang akan mengatakan, 'kami tidak mendapatkan hukum rajam di dalam Kitabullah.' Sehingga dengan begitu, mereka menjadi sesat karena meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala"

Di sini, dia menjelaskan bahwa hal ini adalah merupakan suatu kewajiban dan tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah kewajiban, karena Allah telah memerintahkannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam firman-firmanNya,

"Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya. " [Al-Ma'idah :38]

"Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah" [An-Nur : 2]

"Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia." [Al-Ma'idah :33].

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena bila ada orang terpandang diantara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya; dan bila orang lemah yang mencuri, maka mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andaikata Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." [Hadits Riwayat Al-Bukahri, Ahdits Al-Anbiya 3475. Muslim, Al-Hudud 1688]

Jadi, tidak seharusnya hukum-hukum hudud ini tidak difungsikan, apapun situasi dan kondisinya. Riwayat mengenai Umar yang menggugurkan hukum ketika terjadi kelaparan, perlu diberi catatan dengan dua hal penting.

Pertama : Keshahihan riwayatnya. Jadi, kita menuntut kepada setiap siapa saja yang mengklaim hal ini agar membuktikan keshahihan riwayatnya, bahwa ia berasal dari Umar.

Kedua : Bahwa Umar tidak member-lakukan hukum had tersebut karena mencuatnya syubhat, sebab orang-orang dalam kondisi kelaparan. Jadi, terkadang seseorang mengambil sesutu karena tuntutan kondisi, bukan sengaja untuk mengenyangkan perutnya dengan itu.

Seperti telah diketahui bersama, bahwa wajib bagi kaum muslimin memberi makan kepada saudaranya yang membutuhkan. Dari sini, Umar Radhiyallahu 'anhu khawatir bila pencuri itu nantinya butuh kepada makanan, namun dia tidak mendapatkannya (karena terhalang), maka dia mencari-cari kesempatan untuk mencuri. Tindakan seperti inilah yang pantas dilakukan Umar, jika atsar yang dinisbahkan kepadanya memang shahih bahwa dia telah menggugurkan atau menghapus hukum had, yaitu had terhadap pencuri pada tahun paceklik.

Sedangkan terhadap para penguasa kita, yakni kebanyakan mereka tidaklah dapat dipercaya komitmen keagamaan mereka, demikian juga kewajiban mereka di dalam memberikan nasehat kepada umat. Andaikata dibukakan pintu ke arah itu, niscaya sebagian mereka akan mengatakan, "Menegakkan hukum had dizaman ini sudah tidak relevan lagi karena orang-orang kafir, musuh kita akan menuduh kita sebagai orang-orang bengis dan manusia liar dan kita menentang apa yang wajib diperhatikan dari sisi hak-hak asasi manusia." Kemudian hukum hudud dihapus secara keseluruhan sebagaimana -sangat disayangkan sekali- realitas saat ini di kebanyakan negeri muslimin di mana hukurn-hukum hudud tidak difungsikan demi menjaga perasaan musuh-musuh Allah.

Oleh karena itu, manakala hukum-hukum hudud tersebut tidak difungsikan lagi, terjadilah banyak sekali tindak kriminal dan orang-orang -bahkan hingga kepada para penguasa yang selalu mengekor dalam hal ini- menjadi linglung, apa tindakan yang harus dilakukan terhadap tindakan kriminal tersebut.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Benih Takfir Dalam Tubuh Umat 1/2

Benih Takfir Dalam Tubuh Umat 1/2

Kategori Aktual

Senin, 21 Nopember 2005 07:50:06 WIB

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMAT


Oleh
Syaikh Abu Usamaha Salim bin Ied Al-Hilali
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2





Semoga Allah menjadikan pertemuan ini, pertemuan yang diberkahi, mendorong penyebaran ilmu yang murni, penyebaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan manhaj Salafush Shalih, generasi yang datang setelah Nabi, dan membawa agama ini dengan amanah, antusias dan ketegaran.

Topik pembicaraan kami, (ialah) seputar fitnah ghuluw dalam takfir, bahayanya terhadap umat dan pengaruh destruktifnya di masyarakat lokal maupun internasional.

Definisi takfir, yaitu memvonnis atau mensifati seseorang dengan kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir ; baik dengan alasan yang benar ataupun tidak. Karena itu, saya tegaskan bahwa takfir merupakan hukum syar’i. Ia merupakan wewenang Allah dan RasulNya. Tidak boleh kita meniadakan atau menolaknya. Sebab, takfir merupakan hukum syar’i ; ada orang yang bisa dikafirkan (dan) ada juga yang terjerumus dalam perbuatan takfir.

Tetapi masalahnya bukan pada persoalan di atas, namun terletak pada sikap ekstrim dalam takfir (mengkafirkan) dan mengeluarkan takfir itu dari kaidah yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah.

Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh untuk dikafirkan. Dalam permasalahan ini, Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah antara dua golongan. Golongan yang mengabaikan hak Allah dalam masalah takfir ini, dengan golongan ekstrim menempatkan takfir bukan pada porsinya.

Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :

Pertama : Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam.
Kedua : kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.

Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya yang agung Ash-Shalah. Beliau menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, (yaitu) kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah, memaki NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti Nabi, bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir. Hujjah harus ditegakkan kepadanya (artinya, ia harus diingatkan dengan hujjah,-red), sampai syarat-syarat takfir terpenuhi dan segala penghalang kekafiran hilang. Jika hujjah sudah ditegakkan kepadanya oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk itu atau oleh wakilnya, sedangkan ia tetap menolak, maka baru divonis sebagai kafir.

Jenis kedua, yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.

“Artinya : Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur” [Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]

“Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir atau musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]

“Artinya : Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]

Begitu juga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kufur. Demikianpula firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia termasuk orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44]

Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan secara hati).

Berikutnya, pembicaraan kita tentang masalah ini, yaitu tentang orang-orang yang berlebihan-lebihan dalam takfir, menjadikan perbuatan yang tidak mengeluarkan dari agama, sebagai perkara yang mengeluarkan dari Islam. Dari sinilah fitnah terjadi. Dan ini merupakan fitnah pertama yang terjadi di dalam Islam, di tangan-tangan orang Khawarij yang dinyatakan oleh Nabi sebagai anjing-anjing neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.

Pada waktu itu, pembesar mereka menantang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Belaiu membagi rampasan perang di Hunain dengan memberikannya kepada orang-orang yang muallaf dan tidak memberikan kepadanya sedikitpun. Pemimpin mereka itu mengatakan : “Bersikap adillah, wahai Muhammad! Sesungguhnya pembagian yang engkau lakukan ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Celaka engkau. Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil? Sesungguhnya aku orang yang paling mengenal Allah dan paling bertawqa kepadaNya” [Hadits Riwayat Bukhari]

Dari sikap yang ditujukan oleh laki-laki penentang Rasulullah tersebut, terlihat dengan jelas faktor-faktor yang mendorong mereka ke dalam sikaf takfir (mengkafirkan orang).

[1]. Mereka menjadikan himpitan sosial, politik atau ekonomi sebagai sarana untuk keluar dari prinsip-prinsip pemahaman Islam dan memberontak kepada penguasa kaum Muslimin.

[2]. Kelancangan mereka terhadap Waliyul Amr. Kelancangan itu ditunjukkan oleh pimpinan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits shahih dalam Musnad (disebutkan). “Suatu hari Nabi melewati orang ini dalam keadaan sujud. Maka beliau menghampiri para sahabatnya. Beliau berkata : “Siapa yang mau membunuhnya ?” Abu Bakar mengiyakan, lalu bangkit dengan pedang terhunus. Kemudian beliau menghampiri orang itu, belaiu mendapati sedang sujud. Maka beliaupun kembali (tidak membunuhnya) seraya berkata :”Ya Rasulullah, bagaimana aku membunuh yang mengucapkan laa illaha illa Allah?”. Demikian juga yang dilakukan Umar. Kemudian Ali menyanggupinya, beliau bergegas ke sana, tapi orang tersebut sudah tidak ada lagi. Kemudian. Beliau bersabda : “Seandainya ia berhasil dibunuh, tentu tidak akan ada lagi dua orang yang berselisih di antara umatku”.

Jadi, benih-benih takfir tumbuh dari golongan Khawarij, dan ini merupakan fitnah yang pertama kali terjadi dalam Islam, dan akan terus berlangsung sampai akhirnya Dajjal bergabung dengan pasukan mereka.

Apa yang diperintahkan Nabi pun terjadi. Fitnah Khawarij merangsek. Dan hasil pertama yang menjadi akibatnya, ialah yang dialami Khalifah ketiga Utsman Asy-Syahid yang mendapat jaminan syurga. Orang-orang Khawarij dengan provokasi dari Yahudi, memberontak kepadanya dan berhasil mengepung, dan membunuh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anha. Kemudian mereka memobilisasi pasukannya untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Ali memerangi, membunuh dan menghabisi mereka sampai akarnya. Sedikit pun tidak tersisa, kecuali sembilan orang saja, sebagaimana dipaparkan buku-buku sejarah. Sembilan orang ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Menyebar pula fitnah Khawarij bersama mereka, membawa pemikiran takfir, petumpahan darah dan pembunuhan. Sungguh benar sabda Nabi, mereka adalah duri buat Islam. Mereka tidak mengusik orang-orang kafir, tetapi justru memerangi umat Islam.

Demikianlah, fitnah ini menghasilkan pertumpahan darah, menciderai kehormatan serta perusakan. Dan ini terjadi di negari-negeri Islam.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

Benih Takfir Dalam Tubuh Umat 2/2

Benih Takfir Dalam Tubuh Umat 2/2

Kategori Aktual

Senin, 21 Nopember 2005 10:24:11 WIB

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMAT


Oleh
Syaikh Abu Usamaha Salim bin Ied Al-Hilali
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2






Fitnah ini akan berlangsung terus sebagaimana dikabarkan Nabi. Dalam hadits Ibnu Umar dalam sunan Ibnu Majah (disebutkan) : “Akan tumbuh generasi yang membaca Al-Qur’an. Ketika sebuah generasi habis, maka akan datang generasi berikutnya sampai datang di tengah-tengah mereka Dajjal”. Mereka adalah Khawarij. Setiap kali pupus satu generasi, akan tumbuh generasi baru. Demikian seterusnya hingga muncul Dajjal ditengah pasukan mereka yang dimobilisasi untuk melawan kaum muslimin. Mereka adalah para pengikut Dajjal. Dajjal yang menyebarkan kerusakan dimuka bumi, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Orang-orang Khawarij ini adalah tentara Dajjal di akhir zaman, mereka mendukung kekuasaan Dajjal dan mendukung kerusakan yang dilakukan Dajjal. Wal’iyyadzu billah tabaraka wa ta’ala.

Inilah yang kita lihat di lapangan. Muculnya jama’ah-jama’ah takfir dan menodongkan senjata mereka kehadapan umat Islam. Hasilnya, (ialah) pemboman, perusakan, pembunuhan dan pengusiran penduduk.

Peristiwa ini juga terjadi dihadapan anda. Lihat misalnya, apa yang terjadi beberapa tahun silam ketika muncul golongan ekstrimis di Aljazair. Mereka melakukan pembunuhan, perusakan-perusakan dan penodaan terhadap kehormatan dengan dalih Islam di bawah panji jihad, atau dalih melawan himpitan politik dan seabreg dalih besar lainnya. Sebenarnya mereka pernah bertanyan kepada para ulama. Dan ulamapun telah memberikan nasihat kepada mereka. Namun mereka menutup telinga dan tetap keras kepala.

Fitnah mereka mulai terjadi tahun 90-an hingga kini. Hasil yang diakibatkannya adalah, setengah juta orang Islam terbunuh. Setengah juta orang terbunuh hanya dalam waktu sepuluh tahun, di tangan orang yang mengaku dirinya muslim, mengaku berbuat untuk Islam dan mengaku bahwa mereka berjihad di jalan Allah.

Sementara, negeri Islam Aljazair, ketika melancarkan perang kemerdekaannya melawan penjajah Perancis selama seratus tiga puluh tahun, hanya mengorbankan satu juta syahid. Apabila korban di tangan orang Islam saja mencapai setengah juta jiwa dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana jika fitnah ini berlangsung selama seratus tiga puluh tahun ? Berapa korban yang akan jatuh ? Maka akan menghabisi masyarakat muslim di sana!

Sebelumnya di Suriah, juga ada kelompok ekstrim yang memberontak dengan semboyan-semboyan membahana dan slogan-slogan besar. Maka terjadilah apa yang terjadi, pembunuhan, pengusiran penduduk, dan pengeboman. Bahkan ada sebuah kota, yaitu kota Hamah, total hancur-lebur disebabkan oleh ulah mereka, dengan menelan korban tewas empat puluh ribu jiwa dan penduduknya.

Itulah ulah mereka, penyembelihan, perusakan, peledakan, dan teror terhadap masyarakat yang terusik rasa amannya. Di sana sini ada ranjau darat, bom mobil, granat dan pembunuhan-pembunhan misterius. Akan tetapi kemanapun mereka pergi, sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi!

Tidak ada satu jengkal negeri kaum musliminpun yang selamat dari fitnah ini. Dan negeri ini, negeri Islam yang penduduknya paling banyak di antara negeri-negeri Islam lainnya, juga tidak selamat dari ulah mereka, dari perusakan mereka, dari pemboman mereka dan dari terror mereka.

Hal ini, atau beberapa hari sebelumnya, juga terjadi di negara Haramain. Semoga Allah menjaganya dan menjaga seluruh negara Islam dari ulah tangan para perusak itu. Dan semoga Allah membasmi mereka. Setiap negeri kaum muslimin, senantiasa terancam dengan keberadaan mereka.

Karena itu, kita wajib berhati-hati terhadap bahaya pemikiran ini. Pemikiran yang secara lahir kelihatan indah, tetapi disebaliknya menyimpan kebusukan. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi. Namun akan saya sebutkan secara garis besar pada tiga sebab.

[1]. Semangat keagamaan yang ada pada para pemuda, namun disertai kebodohan terhadap syari’at dan terhadap maksud-maksud agama.

[2]. Semangat buta ini dimanfaatkan oleh para hizbiyyin dan harakiyyin, terutama yang terpengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. Sesungguhnya kelompok-kelompok ghuluw dan jama’ah-jama’ah takfir lahir karena terinspirasi oleh buku-buku mereka berdua, sebagaimana pengakuan tokoh besar mereka. Kelompok-kelompok itu memanfaatkan semangat para pemuda yang bodoh ini dengan mengarahkan mereka untuk mengkafirkan para penguasanya, mengkafirkan negerinya dan mengkafirkan umatnya sehingga mereka menjadi perusak dan menjadi bencana bagi negeri mereka.

[3]. Ditambah lagi, ada tangan-tangan tersembunyi serta pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan orang-orang kafir, mengail di air keruh, ikut memanfaatkan kebodohan ini, kemudian mengarahkannya untuk mengadakan kerusakan, penghancuran dan menimbulkan kekacauan di negerinya kaum muslimin. Semua itu diatasnamakan Islam, padahal Islam berlepas diri dari itu semua. As-Salafiyah juga berlepas diri dari itu semua.

Islam adalah agama yang menjunjung keamanan, kesentausaan, dan ketentraman, Islam mempersatukan kata dan hubungan. Sedangkan Salafiyah adalah dakwah menuju Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan manhaj Salaf. Maka dakwah Salafiyah sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin dan sangat memperhatikan keamanan negeri kaum muslimin, seperti halnya dakwah Salafiyah juga sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin serta bersemangat untuk mempersatukan bahasa serta negeri kaum muslimin. Karena itu, kita wajib merujuk kepada ulama besar kita.

Dalam masalah-masalah krusial, kita harus bertanya kepada ulama-ulama besar, tidak boleh bertanya kepada ulama kecil. Masalah-masalah besar hanya bisa dijawab oleh ulama-ulama besar. Dahulu ulama besar yang telah wafat seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin pernah mengeluarkan fatwa untuk para pemuda, bahwa kegiatan-kegiatan (merusak) itu adalah tidak syar’i, tidak boleh dikerjakan oleh para pemuda harus mempejari agamanya serta berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah. Para pemuda harus duduk disekeliling ulama supaya bahasa dan barisannya bisa bersatu. Semantara para musuh, baik dari dalam maupun dari luar tidak mampu mengusik barisan kita.

Saya berdoa agar Allah mempersatukan kita, menolong kita untuk menghadapi musuh, dan agar Allah menjadikan izzah terlimpah bagi Islam, kaum muslimin dan siapa saja yang membela Islam. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

Kapan Wanita Dinyatakan Tertalak ? Dan Apa Hikmah Dalam Perceraian ?

Kapan Wanita Dinyatakan Tertalak ? Dan Apa Hikmah Dalam Perceraian ?

Kategori Pernikahan

Selasa, 22 Nopember 2005 05:51:06 WIB

KAPAN WANITA DINYATAKAN TERTALAK ? DAN APA HIKMAH DALAM PERCERAIAN ?


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : "Kapan wanita dinyatakan telah tertalak ? Dan apa hikmah yang terkandung dalam perceraian ?"

Jawaban.
Wanita dinyatakan tertalak sejak suaminya menjatuhkan talak dalam keadaan berakal serta sadar dalam menentukan pilihan dan tidak ada hal-hal yang mengahalangi jatuhnya talak, seperti gila, mabuk dan semisalnya, dan juga wanita tersebut dalam keadaan suci tidak dicampuri, hamil atau monopause.

Jika wanita ditalak suaminya dalam keadaan haid, nifas atau suci tetapi telah dicampuri, menurut pendapat yang shahih talak tersebut dianggap tidak jatuh, kecuali bila hakim menyatakan jatuh, sebab putusan hakim mampu mentetralisir perbedaan pendapat.

Begitu pula talak tidak dianggap jatuh, bila istri mengaku dan bisa membuktikan bahwa suami mentalaknya dalam keadaan gila, dipaksa atau mabuk serta dalam keadaan marah yang tidak terkendali, meskipun si suami berdosa jika melontarkan talak dalam keadaan mabuk. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Hukum tidak dibebankan kepada tiga orang yaitu ; anak kecil sehingga telah baligh, orang tidur sehingga ia bangun dan orang gila sehingga ia sadar kembali".

Dan juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman" [An-Nahl : 106]

Bila seseorang tidak bisa dianggap kafir karena dipaksa kafir sementara hatinya tetap beriman, begitu pula orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak, padahal tidak ada niat untuk mentalak maka talaknya tidak bisa dianggap jatuh jika memang benar yang menjadi faktor utama dalam menjatuhkan talak adalah pemaksaan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya :Tidak dianggap mentalak dan memerdekakan jika pelakunya dalam keadaan terpaksa" [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim].

Dan arti 'ighlaq' menurut sebagian ulama, diantaranya Imam Ahmad, adalah dipaksa atau marah yang sangat tidak terkendali.

Khalifah Utsman Radhiyallahu 'anhu dan sejumlah ulama telah mengeluarkan fatwa bahwa orang yang sedang mabuk, talaknya tidak dianggap jatuh walaupun pelakunya berdosa.

Adapun hikmah disyariatkan talak sangat jelas sekali, karena boleh jadi dalam kehidupan rumah tangga tidak ada kecocokan antara suami-istri sehingga muncul sikap saling membenci yang disebabkan oleh tingkat keilmuan yang rendah, pemahaman terhadap nilai agama yang minim atau tidak memiliki akhlak mulia atau semisalnya. Sehingga talak merupakan jalan keluar yang paling tepat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunian-Nya" [An-Nisa : 130]

[Kitab Fatawa Dakwah wa Fatawa Syaikh bin Baz, 2/235]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 190-191. Penerbit Darul Haq]

Seputar Hukum Berafiliasi Kepada Gerakan Frimasonry

Seputar Hukum Berafiliasi Kepada Gerakan Frimasonry

Kategori Propaganda Sesat

Rabu, 23 Nopember 2005 08:28:50 WIB

SEPUTAR HUKUM BERAFILIASI KEPADA GERAKAN FRIMASONRY


Oleh
Al-Mujamma’ Al-Fiqhiy





Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga besar, para shahabat serta orang-orang yang berjalan di bawah petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amma ba’du.

Dalam symposium pertamanya di Mekkah yang diselenggarakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398H, bertepatan dengan tanggal 15 Juli 1978M, Al-Mujamma’ Al-Fiqhiy telah membahas diskursus seputar ‘organisasi frimansonry dan orang-orang yang berafiliasi kepadanya serta hukum syari’at Islam terhadapnya.

Seluruh anggota telah melakukan penelitian yang seksama tentang organisasi yang berbahaya ini dan telah membahas tulisan seputarnya baik edisi lama ataupun yang terkini, demikian juga dokumen-dokumen terkait yang telah disebarluaskan dan ditulis oleh para anggotanya dan sebagian para tokohnya, berupa karya-karya tulis dan artikel-artikel yang dimuat di berbagai majalah yang menjadi corongnya.

Berdasarkan sejumlah tulisan dan teks yang telah diteliti darinya, Al-Mujamma’ telah mendapatkan gambaran yang jelas dan tak dapat diragukan lagi sebagai berikut.

[1]. Frimasonry adalah organisasi rahasia yang terkadang merahasiakan operasinya dan terkadang menampakkannya sesuai dengan situasi dan kondisi, akan tetapi prinsip-prinsip kerjanya yang substansial adalah kerahasiaan dalam setiap kondisi, tidak dapat diketahui bahkan oleh para anggotanya sendiri kecuali oleh tim inti yang telah melewati tahapan eksperimen yang beragam mencapai karir tertinggi didalamnya.

[2]. Ia membina kontak antar para anggotanya di seluruh penjuru dunia berdasarkan pilar lahiriah semata untuk mengecoh para anggota yang bodoh (tidak diandalkan), yaitu persaudaraan insani semu yang dijalin antar para anggota tanpa membeda-bedakan keyakinan , sekte dan aliran yang beragam

[3]. Ia mengincar orang-orang penting untuk masuk ke dalam keanggotaannya dengan cara iming-iming kepentingan pribadi berdasarkan pilar bahwa setiap saudara sesama anggota frimasonry ditempa untuk membantu setiap anggota frimasonry lainnya di bumi manapun dia berada, membantu hajatnya, tujuan dan problematikanya, mendukung tujuan-tujuannya bila dia termasuk orang-orang yang memiliki ambisi politik dan membantunya pula bila dia berada dalam suatu kesulitan, apapun dasar bantuan itu, baik berada di pihak yang benar ataupun batil, berbuat zhalim atau dizhalimi meskipun secara lahirnya ia menutup-nutupi hal itu dimana sebenarnya ia menolongnya atas kebatilan. Ini merupakan iming-iming yang paling serius dalam mengincar orang-orang dari berbagai level sosial dan kemudian menarik dari mereka sumbangan dana keanggotaan yang tidak sedikit.

[4]. Keanggotaan dilakukan pada prosesi penobatan anggota baru dibawah acara resmi simbolik yang menyeramkan guna meneror si anggota bilamana berani melanggar peraturan-peraturannya sedangkan perintah-perintah yang diberikan kepadanya diatur berdasarkan urutan levelnya.

[5]. Sesungguhnya para anggota yang bodoh dibiarkan bebas melakukan ritualitas keagamaannya. Organisasi hanya memanfaatkan mereka dalam batasan yang sesuai dengan kondisi mereka saja di mana (di dalam keanggotaan) mereka ini akan tetap berada pada level bawah. Sedangkan para anggota yang atheis atau siap menjadi atheis, level mereka akan naik secara bertahap dengan melihat kepada pengalaman-pengalaman dan ujian-ujian yang gencar sesuai dengan kesiapan mental mereka dalam menjalankan program-program kerja dan prinsip-prinsip organisasi yang amat berbahaya itu.

[6]. Organisasi ini memiliki target-target politis dan memiliki andil dan campur tangan dalam mayoritas peristiwa penggulingan kekuasaan politik, militer dan perubahan-perubahan berbahaya lainnya baik secara terang-terangan maupun terselubung.

[7]. Secara prinsip kerja dan organisasi, ia lahir dari gerakan Yahudi dan secara administratif berada di bawah manajemen Yahudi internasional tingkat tinggi, serta secara operasional senyawa dengan gerakan zionis.

[8]. Tujuan-tujuannya yang hakiki dan terselubung adalah anti semua agama guna menghancurkannya secara keseluruhan, dan secara khusus menghancurkan Islam di dalam jiwa-jiwa penganutnya.

[9]. Organisasi ini sangat antusias memilih para anggotanya dari kalangan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi, baik di bidang finansial, politis, sosial ataupun ilmiah. Atau kedudukan apa saja yang sekiranya dapat memanfaatkan orang-orang berpengaruh di masyarakat mereka. Sedangkan afiliasi orang-orang yang tidak dapat dimanfaatkan kedudukannya, tidak begitu penting bagi organisasi ini, karenanya ia hanya sangat antusias terhadap bergabungnya para kepala negara, menteri-menteri dan para petinggi suatu negara serta orang-orang semisal itu.

[10]. Organisai ini memiliki banyak cabang yang memakai nama-nama lainnya untuk mengecoh dan mengalihkan perhatian orang sehingga ia bisa melakukan aktifitas-aktifitasnya dibawah nama-nama yang beragam tersebut mendapatkan penentangan jika memakai nama frimasonry pada kawasan tersebut. Cabang-cabang terselubung dengan nama-nama yang beragam tersebut, di antaranya organisasi hitam, Rotary Club, Lion Club, dan prinsip-prinsip serta aktifitas-aktifitas busuk lainnya yang bertentangan dan bertolak belakang secara total dengan kaidah-kaidah Islam.

Telah tampak jelas bagi Al-Mujamma’ korelasi yang kental antara organisasi frimasonry dan gerakan Yahudi-zionis. Karenanya, ia berhasil mengontrol aktifitas kebanyakan para pejabat di negara-negara Arab dalam masalah “Palestina’ dan menghalangi mereka dari kewajiban terhadap masalah besar Islam ini demi kepentingan orang-orang Yahudi dan zionisme internasional.

Oleh karena itu dan berdasarkan informasi-informasi lain yang rinci tentang kegiatan frimasonry, bahayanya yang besar, pengelabuannya yang demikian busuk dan tujuan-tujuannya yang licik, Al-Mujamma’ Al-Fiqhiy memutuskan untuk menganggap “Frimasonry’ sebagai organisasi paling berbahaya yang merusak Islam dan kaum Muslimin. Demikian pula, siapa saja yang berafiliasi kepadanya secara sadar akan hakikat dan tujuan-tujuannya maka dia telah kafir terhadap Islam dan menyelisihi para penganutnya.

Wallahu Waliy At-Taufiq

[Kumpulan Fatwa Islam dari sejumlah Ulama, Jilid 1, hal, 115-117]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-1, Terbitan Darul Haq]


Kaidah Tentang Sifat-Sifat Allah Jalla Jalaluhu Menurut Ahlus Sunnah

Kaidah Tentang Sifat-Sifat Allah Jalla Jalaluhu Menurut Ahlus Sunnah

Kategori Aqidah Ahlus Sunnah

Kamis, 24 Nopember 2005 14:35:24 WIB

KAIDAH TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH JALLA JALALUHU MENURUT AHLUS SUNNH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas





Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang Diri-Nya ada dua macam: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Pertama: Sifat Tsubutiyah.

Sifat Tsubutiyah, ialah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Diri-Nya di dalam al-Qur-an atau melalui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat-sifat ini semuanya adalah sifat kesempurnaan, tidak menun-jukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup), Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Istiwaa’ (bersema-yam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya.

Sifat-sifat Allah tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berda-sarkan dalil naqli dan ‘aql.

Sifat Tsubutiyah ada dua macam: Dzaatiyah dan Fi’liyah.

Sifat Dzaatiyah, ialah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap berada pada diri Allah Azza wa Jalla. Seperti: Hayat (hidup), Kalam (berbicara), ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (ke-inginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan), ‘Uluww (ketinggian, di atas makhluk), ‘Azhamah (keagungan). Dan termasuk dalam sifat ini adalah sifat Khabariyah seperti adanya wajah, yadain (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).

Sifat Fi’liyah, ialah sifat yang terikat dengan masyi’ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, dilakukan-Nya, dan jika tidak, dilakukan-Nya. Seperti; Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan nuzul (turun) ke langit terendah, ataupun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” [Al-Fajr: 22]

Bisa juga suatu sifat menjadi dzaatiyah-fi’liyah, ditinjau dari dua segi, seperti kalaam (pembicaraan) ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi ditinjau dari segi satu persatu terjadinya kalam adalah sifat fi’liyah karena terikat dengan masyi-ah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara apa saja yang Dia kehendaki bila Dia menghendaki. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

“Artinya : Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ maka terjadilah.” [Yaasin: 82]

Dan setiap Sifat Allah yang terikat dengan masyi’ah adalah mengikuti hikmahNya. Hikmah ini kadangkala dapat kita ketahui, tetapi kadangkala kita tidak mampu memahami, namun kita benar-benar yakin bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki sesuatu melainkan apa yang dikehendaki-Nya itupun sesuai hikmah-Nya, seperti yang diisyaratkan Allah melalui firman-Nya.

“Artinya : Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana" [Al-Insaan: 30]

Kedua: Sifat Salbiyah

Sifat Salbiyah, ialah setiap sifat yang dinafikan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Diri-Nya melalui Al-Qur’an atau sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, contohnya; maut (mati, tidak hidup), naum (tidur), jahl (bodoh), nisyan (kelupaan), ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kecapekan, kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan dari Allah Azza wa Jalla berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebali-kannya secara lebih sempurna. Misalnya, menafikan maut (mati) dan naum (tidur) berarti menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah Dzat Yang Mahahidup dengan sempurna, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Allah Dzat Yang Mahamengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.[1]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Tanbiihat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Wasithiyah min al-Mabaahits al-Muniifah (hal. 40, 47) karya Syaikh as-Sa’di dan al-Qawaaidul Mutsla fii Shiffatilaahi wa Asmaa’ihil Husna (hal.59-63) karya Syaikh Muhammad al-Utsaimin serta Syarah ‘Aqiidah Wasithiyyah oleh Khalil Hiras hal. 159-160.


Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib

Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib

Kategori Fatawa 'Arkanil Islam

Jumat, 25 Nopember 2005 06:49:04 WIB

HUKUM ORANG YANG MENGAKU MENGETAHUI YANG GHAIB


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang mengaku mengetahui yang ghaib ?

Jawaban.
Hukum orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib adalah kafir, karena ia mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman.

“Artinya : Katakanlah : “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” [An-Naml : 65]

Allah memerintahkan kepada NabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada manusia bahwa tidak ada seorangpun di bumi maupun di langit yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib, maka ia telah mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang khabar ini. Kita tanyakan kepada mereka : Bagaimana mungkin kalian mengetahui yang ghaib, sedangkan Nabi saja tidak mengetahui ? Apakah kalian lebih mulia daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Jika mereka menjawab : “Kami lebih mulia daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka telah kafir karena ucapan itu. Jika mereka mengatakan : Bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia, maka kami katakan : Kenapa Rasul tidak mengetahui yang ghaib, sedangkan kalian mengetahui ? Allah berfirman.

“Artinya : (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridahiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya” [Al-Jin : 26-27]

Ini adalah ayat kedua yang menunjukkan atas kafirnya orang yang mengetahui ilmu ghaib. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada manusia dengan firmanNya.

“Artinya : Katakanlah : “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” [Al-An’am : 50]


[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]

Keistimewaan Mendidik Anak

Keistimewaan Mendidik Anak

Kategori Ath-Thiflul Muslim

Sabtu, 26 Nopember 2005 06:52:42 WIB

KEISTIMEWAAN MENDIDIK ANAK


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak-anak perempuan bisa saya didik dengan baik karena selalu bersama saya. Tapi saya tidak mampu mendidik anak-anak lelaki yang sebagian sudah dewasa, ayah mereka waktunya habis untuk bekerja seharian. Bila saya minta untuk berperan serta dalam mendidik, dia tidak mempedulikan ucapan saya. Apakah saya salah dalam hal ini ? Saya mohon Syaikh menganjurkan para orang tua untuk memperhatikan anak-anak mereka dan tidak hanya menghabiskan waktu dengan pekerjaan.

Jawaban.
Kami berterima kasih kepada ibu yang telah mendidik putri-putrinya, sekaligus berusaha memperbaiki putra-putranya. Kami berharap ayah mereka memperhatikan dan selalu berusaha (untuk mendidik mereka) demi kebaikan anak-anak dan membimbing mereka agar menjadi anak shalih. Karena hal itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat, dalam kehidupan sekarang maupun setelah ajal menjemputnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” [At-Tahrim : 6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ketika anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara : Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat bagi orang sesudahnya dan anak shalih yang mendo’akannya”.

Jika seorang ayah sibuk mendidik anak-anaknya sesuai yang diperintahkan Allah dan RasulNya, maka ia berada di atas jalan kebaikan yang besar. Anak-anak mendo’akannya di masa ayahnya masih hidup dan setelah kematiannya. Jika terjadi sebaliknya, mengenyampingkan tanggung jawab pendidikan anak-anak, maka dia berdosa dan anak-anak akan menjadi malapetaka bagi dirinya.

Kami berharap ayah mereka bisa memperhatikan anak-anaknya seperti halnya perhatiannya kepada kekayaan. Bahkan harus lebih dari itu, karena harta materi akan lenyap, sementara anak merupakan bagian manusia yang tidak terpisahkan. Mereka aorang-orang yang akan memberi manfaat kepada orang tua ketika masih hiudp dan setelah mati.

[Fatawa Manarul Islam 3/789]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

Apakah Adanya Imam Merupakan Syarat Jihad, Dan Apakah Syarat Itu Telah Terpenuhi Pada Saat Sekarang?

Apakah Adanya Imam Merupakan Syarat Jihad, Dan Apakah Syarat Itu Telah Terpenuhi Pada Saat Sekarang?

Kategori Jihad Fii Sabilillah

Selasa, 29 Nopember 2005 07:30:09 WIB

APAKAH ADANYA IMAM MERUPAKAN SYARAT JIHAD ?


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani




Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Betulkah syarat jihad adalah harus ada imam ? Dan apa syarat-syarat imamah (menjadi imam)?

Jawaban
Benar, termasuk syarat-syarat jihad adalah di bawah bendera seorang imam yang menyeru/mengajak kaum muslimin kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Adapun syarat-syarat imamah

[1]. Ia adalah seorang muslim yang telah baligh
[2]. Mengetahui Al-Kitab dan Sunnah
[3]. Ia adalah orang Arab
[4]. Ia adalah orang Quraisy, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Para imam itu dari Quraisy”

Dan kita wajib membedakan antara pengertian jihad dengan pengertian membela negara (dari serangan orang kafir). Membela negara adalah suatu perkara, dan jihad yang meninggikan kalimat Allah merupakan perkara lain lagi. Membela negara tidak disyaratkan seperti syarat-syarat di atas. Jadi setiap individu bisa membela negerinya sesuai dengan kemampuannya.

BOLEHKAH JIHAD KE AFGHANISTAN TANPA SEIZIN PENGUASA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bolehkah seorang muslim berjihad di Afghanistan tanpa seizing penguasa atau pemimpinnya ?

Jawaban.
Pintu jihad selalu terbuka. Akan tetapi jika jihad tidak teratur dan tanpa persetujuan pemerintah Islam maka akan berakibat bencana yang dahsyat serta akan menyebabkan kondisi yang buruk seperti kondisi di Palestina.

[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Albani, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]


HUKUM BERJIHAD DENGAN LARANGAN DARI PEMIMPIN

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan



Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimana hukum berjihad saat sekarang dengan larangan dari pemimpin ?

Jawaban
Tidak ada jihad kecuali dengan izin pemimpin karena itu merupakan wewenangnya, jihad tanpa izinnya maka itu merupakan pembangkangan kepadanya. Jihad haruslah dengan pendapat dan izinnya, jika tidak bagaimana engkau berperang tapi engkau bukan dibawah panji dan bukan di bawah kepemimpinan pemimpin kaum musilmin?

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa syarat-syarat jihad, dan apakah telah terpenuhi pada saat sekarang ?

Jawaban
Syarat-syarat jihad adalah ma’ruf ; kaum muslimin harus memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berjihad melawan orang kafir. Adapun jika tidak ada kemampuan dan kekuatan maka tidak ada jihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ketika berada di Makkah sebelum hijrah tidak diperintahkan untuk berjihad karena mereka tidak mampu, begitu pula wajib berjihad di bawah panji Islam dan dengan perintah pemimpin karena ia adalah orang yang memberikan perintah, yang mengatur yang mengurusi dan yang mengawasi, hal itu merupakan wewenangnya dan bukan wewenang seseorang atau jama’ah mana saja yang pergi atau berperang tanpa izin dari pemimpin.

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Orang yang berjihad tanpa izin pemimpin kemudian ia terbunuh apakah ia syahid atau tidak ?

Jawaban
Ia tidak dizinkan dalam hal ini dan perbuatannya (berjihad) bukanlah perbuatan syar’I dan menurut pendapat saya ia tidaklah syahid

[Dari Pelajaran Syaikh Shalih Al-Fauzan dari Syarh Bulughul Maram kitab Al-Jihad]

[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]