Rabu, 18 Januari 2012

Bagaimana Menjalankan Puasa Enam Hari Bulan Syawal ?

Bagaimana Menjalankan Puasa Enam Hari Bulan Syawal ?

Kategori Puasa - Fiqh Puasa

Selasa, 8 Nopember 2005 06:54:30 WIB

BAGAIMANA MENJALANKAN PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL ?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa cara yang paling baik dalam menjalankan puasa enam hari bulan Syawal ?

Jawaban
Cara yang paling utama adalah berpuasa pada enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul Fithri secara langsung, berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, karena cara itu lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang dituturkan dalam hadits, “Kemudian mengikutinya”, dan karena cara itu termasuk bersegera menuju kebajikan yang diperintahkan oleh dalil-dalil yang menganjurkannya dan memuji orang yang mengerjakannya, juga hal itu termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari kesempurnaan seorang hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan lewat percuma ; karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di kesempatan yang kedua atau akhir perkara.

Inilah yang saya maksudkan dengan bersegera dalam beramal dan cepat-cepat mengambil kesempatan, sebaiknya seseorang menjalankannya dalam segala urusannya di kala kebenaran telah jelas nampak padanya.


PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL BAGI ORANG YANG PUNYA HUTANG PUASA WAJIB.

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pendapat anda tentang puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang berkewajiban membayar hutang puasa wajib ?

Jawaban
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa”[1]

Adapun jika seseorang masih menanggung hutang puasa lalu dia puasa enam hari, apakah dia boleh mengerjakannya sebelum pelunasan hutang Ramadhan ataukah harus sesudahnya ?

Misalnya : Seorang laki-laki berpuasa Ramadhan sebanyak dua puluh empat hari, masih terhutang atasnya enam hari, apabila dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengerjakan enam hari puasa pengganti Ramadhan, maka tidak bisa dikatakan : Sesungguhnya dia berpuasa Ramadhan, dan dia mengikutinya dengan enam hari bulan Syawal ; sebab dia tidak dianggap berpuasa Ramadhan kecuali bila dia menyempurnakannya, atas dasar ini maka tidak ditetapkan pahala puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang mengerjakannya padahal dia masih punya tanggungan hutang puasa Ramadhan.

Masalah ini bukanlah termasuk hal diperselisihkan ulama tentang bolehnya puasa nafilah (sunah) bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib, karena perselisihan itu terjadi pada puasa selain enam hari tersebut, sedangkan tentang enam hari yang mengikuti Ramadhan tidak mungkin ditetapkan pahalanya kecuali bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan.


[Disalin dari kitab Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab Shiyam, Bab Disukainya puasa enam hari bulan Syawal (1164)

As-Sunnah Dan Difinisinya

As-Sunnah Dan Difinisinya

Kategori As-Sunnah Dalam Islam

Rabu, 9 Nopember 2005 09:28:02 WIB

AS-SUNNAH DAN DEFINISINYA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas






Kedudukan As-Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum Muslimin mulai dari masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in sampai zaman sekarang ini dan sampai hari Kiamat merupakan suatu kenyataan yang diterima sebagai kebenaran yang pasti dan tidak perlu dibuktikan lagi serta tidak dapat diragukan. Barangsiapa yang menela’ah Al-Qur-an dan As-Sunnah, niscaya akan menemukan besarnya pengaruh As-Sunnah dalam pembinaan syari’at Islam dan keagungan serta keabadiannya yang tidak mungkin diingkari oleh pakar-pakar yang mengerti masalah ini.

Pembinaan hukum yang luhur diakui oleh para ahli ilmu di segala penjuru dunia. Kekaguman mereka menjadi bertambah apabila mempelajari As-Sunnah dengan sistem sanad yang telah dipaparkan oleh para ahli hadits, rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ahli hadits telah diteliti dan diuji serta mereka menulis kitab-kitab jarh wat ta’dil tentang para perawi hadits, hingga dengan cara demikian dapat dibedakan mana hadits yang shahih, dha’if dan maudhu’.

Namun, di samping adanya ulama yang berjuang membela As-Sunnah, ada pula orang-orang yang merongrong terhadap Islam, mereka menolak As-Sunnah, meragukan hujjah As-Sunnah serta meragukan pula pengumpulan hadits dan penyampaian riwayat dari para Shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Dalam pandangan sesat inilah terdapat persesuaian antara penentang-penentang Islam dari kalangan orang-orang kafir, munafiq dan kaum orientalis.

Perjuangan musuh-musuh Islam terus berlanjut dari zaman para Shahabat ridhwanullaahu ‘alaihim sampai hari ini. Mereka berusaha memadamkan cahaya Islam, menghancurkan segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, membunuh dan memenjarakan penyebar panji Islam serta memutar-balikkan fakta sejarah Islam yang benar. Tetapi Allah akan senantiasa menyempurnakan cahaya Islam.

“Artinya : Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8]

Ironisnya, justeru para penentang Islam dewasa ini di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang dianggap ulama dan cendekiawan yang mereka terpengaruh dan diperalat oleh musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani serta para orientalis yang menghancurkan Islam.

Adapun sebab-sebab terjeratnya sebagian tokoh kaum Muslimin oleh kaum orientalis Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas menentang Islam adalah:

[a]. Mereka tidak menguasai hakekat Islam yang diwariskan dan tidak menelaahnya dari sumber-sumber yang asli, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

[b]. Tertipu oleh “sistematika-sistematika ilmiah yang semu” yang mengundang mereka kepada konflik.

[c]. Ada keinginan supaya terkenal sebagai ahli fikir, pakar atau supaya dikatakan sebagai tokoh cendekiawan, tujuannya mencari popularitas dunia.

[d]. Dirinya dikuasai oleh hawa nafsu sehingga pemikirannya yang sesat tidak dapat bergerak melainkan hanya mengekor kepada kaum orientalis.

[e]. Mereka berambisi untuk mendapatkan harta yang banyak, kedudukan dan pangkat, sehingga mereka menyembunyikan kebenaran ayat-ayat Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya mereka menentang api Neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurun-kan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesung-guhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” [Al-Baqarah: 174-176].[1]

Tidak diragukan lagi bahwa pertentangan yang ter-jadi antara umat Islam dan penentang-penentangnya tidak akan selesai dan berhenti begitu saja sebelum mak-sud jahat mereka terbongkar dan terkalahkan. Pertentangan ini berlangsung antara haq dan hawa nafsu, antara ilmu dan kebodohan, antara lapang dada dan dendam, serta antara cahaya dan kegelapan.

Menurut Sunnatullaah, kebenaran, ilmu, sikap lapang dada dan cahaya itu selamanya pasti menang, sebagai-mana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.

“Artinya : Bahkan Kami (Allah) melemparkan yang haq itu atas kebathilan, sehingga yang haq itu menghancurkannya dan musnahlah kebathilan itu. Dan kecelakaanlah bagi-mu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak).” [Al-Anbiyaa’: 18]

Di antara tokoh-tokoh yang menentang Sunnah adalah Mahmud Abu Rayyah dalam buku Adhwaa-u ‘alas Sunnah Muhammadiyyah, Dr. Thaha Husain, Dr. ‘Ali Hasan ‘Abdul Qadir, Anderson, Goldzieher, Schacht, Har Gibb, Philip K. Hitti, Dr. Taufiq Shidqi dalam maka-lahnya: al-Islam Huwal Qur-aan Wahdah, dan selainnya.[2]

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_________
Foote Note
[1]. Lihat juga surat Al-Baqarah ayat 159-160
[2]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri' Islami oleh Dr. Mushtahafa As-Siba'i, cetakan Al-Maktab Al-Islami th 1398H, atau pada hal. 15-37, cetakan I/Daarul Warraaq th 1419H. Diraasat fil Hadits An-Nabawy (hal. 26), Dr Muhammad Musthafa Al-A'zhumy, Difaa' 'anis Sunnah, Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.


Hukum Para Penjual Yang Melakukan Kepemilikan Uang Muka

Hukum Para Penjual Yang Melakukan Kepemilikan Uang Muka

Kategori Fatawa Jual Beli

Kamis, 10 Nopember 2005 08:28:08 WIB

HUKUM PARA PENJUAL YANG MELAKUKAN KEPEMILIKAN UANG MUKA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta





Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Banyak dari para penjual melakukan kepemilikan uang muka pada saat jual beli tidak terjadi. Apa hukumnya ?

Jawaban
Jual beli dengan uang muka itu boleh. Yaitu, pembeli membayarkan uang kepada penjual atau wakilnya, yang jumlahnya lebih sedikit dari harga yang harus dibayarkan setelah transaksi jual beli ditetapkan, untuk mejamin barang dagangan tersebut, agar tidak diambil orang lain. Dan jika pembeli itu mengambil tersebut maka uang muka itu sudah masuk dalam hitungan harga.

Dan jika dia tidak mengambil barang tersebut, maka penjual boleh mengambil dan menjadikannya sebagai hak milik. Jual beli dengan uang muka ini dibenarkan, baik diberi batasan waktu pembayaran sisa harga yang harus dibayarkan atau tidak diberikan batasan waktu. Dan yang menujukkan dibolehkannya jual beli dengan uang muka ini adalah apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Imam Ahmad pernah berbicara mengenai uang muka ini : “Tidak ada masalah dengannya”.

Dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dimana dia membolehkan hal tersebut. Sedangkan Sa’id bin Al-Musyyab dan Ibnu Sirin mengatakan : “Tidak ada masalah dengannya”. Dia memakruhkan dikembalikannya barang dagangan yang disertai dengan sesuatu.

Adapun hadits yang diriwayatkan dai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau melarang jual beli dengan uang muka [1] adalah hadits dhaif, yang dinilai dha’if oleh Imam Ahmad dan yang lainnya. Sehingga hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 2 dan ke 3 dari Fatwa Nomor 19637. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. HR Malik di dalam kitab Al-Muwaththa’ II/609, Ahmad II/183, Abu Dawud III/768 nomor 3502, Ibnu Majah II?738 dan 739 Nomor 2192 dan 2193, Al-Baihaqi V/342, Ibnu ‘Adi (Al-Kaamil) IV/15 Terjemah Nomor 977, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah VIII/135 Nomor 2106

Mentaati Orang Tua Dalam Kebaikan Adalah Kewajiban Terpenting

Mentaati Orang Tua Dalam Kebaikan Adalah Kewajiban Terpenting

Kategori Birrul Walidain

Jumat, 11 Nopember 2005 06:35:00 WIB

MENTAATI ORANG TUA DALAM KEBAIKAN ADALAH KEWAJIBAN TERPENTING


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya menolak permintaan ibu saya saat saya sedang memiliki pekerjaan-pekerjaan penting. Hukumnya bagaimana ?

Jawaban
Berbakti kepada kedua orang tua, selalu mendengar kan dan mentaati mereka dalam kebajikan adalah kewajiban terpenting. Anda wajib memperhatikan hak ibu anda dan berusaha untuk membuatnya senang tanpa mendurhakainya dalam kebajikan. Kalau perkerjaan yang sedang anda hadapi hukumnya wajib sehingga berlawanan dengan permintaan ibu anda, segera beritahukan kepadanya dan minta ma’af, lalu tunaikan apa yang menjadi kewajiban anda. Kalau masih memungkinkan untuk mendahulukan apa yang menjadi permintaan ibu anda tanpa membahayakan diri anda dengan tertundanya kewajiban anda, dahulukan keperluan orang tua anda tersebut, karena berbakti kepada ibu itu jauh lebih penting.

Namun kalau itu tidak mungkin, dahulukan yang lebih penting yang apabila tertunda akan menyebabkan hilang kesempatan mengamalkannya, berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Dan bertakwalah kepda Allah semampumu” [At-Taghaabun : 16]


BERBUAT BAIK KEPADA NENEKNYA SETELAH NENEKNYA MENINGGAL

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya mempunyau seorang nenek yang sudah meninggal, dan dia sangat berjasa terhadap diri saya, sehingga rasanya tidak mungkin saya melupakan (jasa-jasanya). Apa yang harus saya lakukan sebagai balas budi, agar saya masih bisa berbuat baik kepada nenek saya yang sudah meninggal tersebut ?

Jawaban
Disayariatkan bagi anda untuk mendo’akan dan meminta ampun untuknya, serta bershadaqah, haji, dan umrah untuk dia. Insya Allah hal ini akan bermanfaat baginya, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amal baik anda dan memberikan pahala kepada anda.

Diantara kewajban anda kepadanya adalah anda menunaikan wasiat apabila dia berwasiat yang sesuai dengan syari’at, memuliakan teman-temannya, dan menyambung tali silaturahmi kepada kerabat-kerabatnya, seperti anak-anaknya (paman dan bibi anda) dan cucu-cucunya (sepupu anda). Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Masih bisakah saya berbuat baik kepada kedua orang tua saya yang sudah meninggal ?” Beliau menjawab : “Ya, engkau bisa bershalawat/berdoa untuk kedua orang tuamu, memintakan ampun untuk mereka, menunaikan janji/amanah mereka, memuliakan teman-teman mereka, dan menyambung silaturahmi (kepada kerabat-kerabatnya), dimana silaturahmi tersebut hanya engkau lakukan karena kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Abu Dawud]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal & Tsani, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan – Solo]

Pendapat Imam Malik Tentang Sahabat

Pendapat Imam Malik Tentang Sahabat

Kategori I'tiqad Al-A'immah

Sabtu, 12 Nopember 2005 11:19:32 WIB

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG SAHABAT


Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais





[1]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah al-Anbari, katanya: “Siapa yang merendahkan derajat seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau ia merasa tidak senang, maka ia tidak punya hak untuk dilindungi oleh umat Islam.” Kemudian beliau membaca ayat.

“Artinya : Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan kebencian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” [Al-Hasyar : 10][1]

Imam Malik kemudian berkata: “barangsiapa marah kepada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia telah terkena ayat ini.”

[2]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari salah seorang putra az-Zubair, katanya: “Kami berada di tempat Malik. Kemudian orang-orang menyebut-nyebut seseorang yang merendahkan martabat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Imam Malik membaca ayat:

“Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying sesame mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan menjadi tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnyakarena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min)" [Al-Fath : 29]

Imam Malik kemudian berkata: “barangsiapa marah kepada salah seorang sahabat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah terkena ayat ini.”[2]

[3]. Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dari Asyhab bin ‘Abdul Aziz, katanya: “Kami berada di tempat Imam Malik, tiba-tiba ada seorang dari golongan Alawiyin datang kepada beliau, sementara orang-orang yang ada di situ sedang mengikuti majlis pengajian Imam Malik. Orang tadi, sambil berdiri bertanya kepada beliau, “wahai Abu Abdillah” panggilan akrab untuk beliau. Imam Malik kemudian mendekati, padahal beliau itu tidak pernah menyambut lebih dari menganggukkan kepala, apabila dipanggil orang. Kemudian orang tadi berkata: “Saya ingin membuat anda menjadi hujjah (bukti kebenaran) antara saya dengan Allah, sebab apabila saya akan menghadap Allah nanti, saya akan ditanya Allah, dan saya akan menjawab: “Malik telah mengatakan hal itu.”. Imam Malik lalu berkata: “Baik, silahkan apa yang hendak anda tanyakan!” Orang tadi brkata: “Siapakah yang peling mulia sesudah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Beliau menjawab: “Abu Bakar.” Orang Alawiyin tadi bertanya lagi: “Lalu siapa?” Dijawab, “Umar”. “Kemudian siapa lagi?”, Tanya orang tadi. Imam Malik menjawab: “Kemudian Khalifah yang terbunuh secara didzalimi, yaitu Utsman.” Orang tadi lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan duduk di sampingmu selamanya”. “Ya silakan., Anda bebas”. Jawab Imam Malik.[3]


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Hilyah VI/327
[2]. Al-Hilyah, VI/327
[3]. Tartib Al-Madarik, II/44-45

Bagaimana Tukang Sihir Itu Menghadirkan Jin ? Cara Sulfiyah, Cara Najasah, Cara Tankis, Cara Tanjim

Bagaimana Tukang Sihir Itu Menghadirkan Jin ? Cara Sulfiyah, Cara Najasah, Cara Tankis, Cara Tanjim

Kategori Sihri Wal Kahaanah

Minggu, 13 Nopember 2005 08:47:19 WIB

BAGAIMANA TUKANG SIHIR ITU MENGHADIRKAN JIN ?


Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan 2/3






KETIGA : CARA SULFIYAH [MELAKUKAN KENISTAAN]
Cara ketiga ini sangat populer dikalangan para tukang sihir dengan sebutan sulfiyah. Tukang sihir yang menggunakan cara ini memiliki banyak syaitan yang mengabdi kepadanya dan menjalankan semua perintahnya, karena dia sebagai tukang sihir yang paling kufur dan paling ingkar, semoga Allah melaknatnya.

Cara ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tukang sihir mudah-mudahan Allah melaknatnya secara terus menerus- meletakkan mushaf di kedua kakinya dalam posisi seperti sepatu. Kemudian dengan posisi al-Qur’an seperti itu, si penyihir itu masuk WC, lalu mulai membaca mantra di dalam WC, selanjutnya keluar lagi dan duduk di sebuah ruangan, setelah itu dia akan meyuruh jin untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya. Maka, jin pun akan segera mantaatinya dan menjalankan semua perintahnya. Hal itu tidak lain karena tukang sihir itu telah kufur kepada Allah yang Maha Agung. Sehingga dengan demikian dia telah menjadi salah satu saudara syaitan, dan karenanya dia telah benar-benar merugi dan akan mendapatkan laknat dari Allah, Rabb seru sekalian alam.

Bagi tukang sihir yang menggunakan cara sulfiyah ini, disyaratkan harus melakukan sejumlah perbuatan dosa besar -selain yang telah kami sebutkan- misalnya, menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, melakukan hubungan sesama jenis, melakukan perzinahan, atau mencela agama. Semuanya itu dimaksudkan untuk mencari keridhaan syaitan.

KEEMPAT : CARA NAJASAH [MENULIS AYAT-AYAT AL-QUR'AN DENGAN BENDA NAJIS]
Dalam cara ini seorang penyihir akan menulis salah satu surat dalam al-Qur’an al-Karim dengan menggunakan darah haid atau benda-benda najis lainnya, dan setelah itu membaca mantra, hingga jin muncul, untuk selanjutnya ia perintahkan apa saja yang ia kehendaki.

Kekufuran denga cara ini sudah sangat jelas dan tidak tersembunyi lagi, karena penghinaan dan pencemoohan terhadap salah satu surat atau bahkan satu ayat al-Qur’an al-Karim merupakan bentuk kekufuran kepada Allah yang Maha Agung. Lalu bagaimana pendapat anda jika ayat-ayat al-Qur’an itu ditulis dengan benda-benda najis, kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Dan kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala mudah-mudahan Dia meneguhkan hati kita untuk selalu berdiri tegak di atas keimanan serta mewafatkan kita dalam keislaman, dan menggolongkan kita termasuk dari golongan manusia terbaik, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam

KELIMA : CARA TANKIS [MENULIS AYAT-AYAT AL-QUR'AN SECARA TERBALIK]
Menurut cara ini, tukang sihir -semoga Allah melaknatnya- menulis salah satu surat al-Qr’an al-Karim dengan huruf-huruf terpisah dan terbalik, yaitu ditulis bagian akhirnya dulu baru kemudian bagian awalnya. Setelah itu dia membaca mantra yang berbau syirik, sehingga jin pun datang, lalu dia menyuruhnya melakukan apa yang dia inginkan.

Cara ini pun jelas haram, karena didalamnya mengandung unsur kesyirikan dan kekufuran.

KEENAM : CARA TANJIM [MENYEMBAH BINTANG]
Cara ini disebut juga ar-rashd, karena dengan cara ini seorang tukang sihir akan memantau munculnya bintang tertentu, kemudian berbicara dengan bintang tersebut dengan membaca mantra-mantra sihir, selanjutnya membacakan mantra lain yang mengandung kesyirikan dan kekufuran kepada Allah. Setelah itu, dia melakukan beberapa gerakan –yang dia akui gerakan-gerakan itu dapat menurunkan spiritual bintang-bintang- padahal sebenarnya hal itu merupakan bentuk penyembahan bintang tersebut selain dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun orang yang melakukan gerakan tersebut tidak menyadarinya. Demikianlah ibadah sekaligus pengagungan terhadap dzat selain Allah. Pada saat itu, syaitan-syaitan akan menyambut dan menjalankan semua perintah tukang sihir terlaknat itu, sehingga dia mengira bahwa bintang itulah yang membantunya, padahal bintang itu tidak mengetahui sedikit pun mengenai hal tersebut. Para tukang sihir tersebut mengaku bahwa sihir itu tidak akan bisa diobati kecuali jika bintang itu muncul, lagi pada waktu yang lain[1]. Di sana terdapat beberapa bintang yang tidak muncul, kecuali sekali dalam setahun, sehingga mereka harus menunggu kemunculannya, dan setelah muncul baru mereka akan membaca mantra-mantra yang meminta pertolongan kepada bintang untuk menghilangkan sihir tersebut.

Tidak ada yang tertutup lagi bahwa pada cara tersebut terdapat unsur pengagungan kepada selain Allah dan meminta pertolongan kepada selain-Nya. Dan sudah pasti semuanya itu merupakan perbuatan syirik, apalagi mantra-mantranya yang berbau kekufuran.


[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
_________
Foote Note
[1]. Yang demikian itu menurut para tukang sihir. Tetapi orang-orang yang melakukan pengobatan dengan al-Quran, sihir tersebut dapat dihilangkan seketika berkat karunia Allah Ynag Maha besar lagi Mahatinggi .

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Kategori Al-Qur'an - Tafsir

Selasa, 15 Nopember 2005 13:54:04 WIB

TAFSIR SURAT AL-IKHLASH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Bismillahirrahmaanirrahiim

Allah berfirman.
Artinya :
“Katakanlah : “Dialah Allah, Yang Maha Esa” [Al-Ikhlash : 1]
“Allah adalah Ilah yang bergantung kepadaNya segala urusan” [Al-Ikhlash : 2]
“Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan” [Al-Ikhlash : 3]
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]

Mengenai “basmalah” telah berlalu penjelasannya.

Sebab turunnya surat ini adalah, ketika orang musyrik atau orang Yahudi berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Beritakan kepada kami sifat Rabb-mu!” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini [1]

Qul = “Katakanlah”. Pernyataan ini ditujukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. “Huwa Allahu ahad” = “Dialah Allah Yang Maha Esa”. Menurut ahli I’rab, huwa adalah dhamir sya’n, dan lafdzul jalalah Allah khabar mubtada dan “Ahadun” khabar kedua. ‘Allahu Ash-Shomad’ kalimat tersendiri. “Allahu Ahadun” Yakni, Dia adalah Allah yang selalu kamu bicarakan dan yang selalu kamu memohon kepada-Nya. “Ahadun”. Yakni, Yang Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan-Nya, yang tiada bandingan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Bahkan Dia Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan. “Allahu Ash-Shomad” adalah kalimat tersendiri Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dia Ash-Shomad. Makna yang paling mencakup iallah Dia mempunyai sifat yang sempurna yang berbeda dengan semua mahkhluk-Nya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ash-Shomad ialah yang sempurna Keilmuan-Nya, Yang sempurna Kesantunan-Nya, Yang sempurna Keagungan-Nya, Yang sempurna Kekuasaan-Nya. Sampai akhir perkatan-Nya [2]. Ini artinya bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk karena Dia Maha Sempurna. Dan juga tertera dalam tafsir bahwasanya As-Shamad ialah yang menangani semua urusan makhlukNy-Nya. Artinya, Bahwa seluruh makhluk sangat bergantung kepada Allah Ta’ala. Jadi, arti yang paling lengkap ialah : Dia Maha Sempurna dalam sifat-sifat-Nya dan seluruh makhluk sangat bergantung kepada-Nya.

“Lam yaalid”. Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mempunyai anak karena Dia adalah Dzat Yang Maha Muali dan Maha Agung, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuanya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Ia adalah bahagian dari diriku” [3]

Allah Azza wa Jalla tidak ada yang serupa dengan-Nya. Anak merupakan salah satu kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan dunia maupun untuk menjaga kesinambungan keturunan. Allah Azzan wa Jalla tidak memerlukan itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Allah Azza wa Jalla tidak memerlukan seorang dari makhluk-Nya. Allah telah mengisyaratkan bahwa mustahil bagi-Nya mempunyai anak, seperti dalam firman-Nya.

“Artinya : Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri ? Dia menciptakan segala sesuatu ‘ dan Dia mengetahui segala sesuatu” [Al-An’am : 101]

Seorang anak membutuhkan orang yang melahirkannya.

Demikianlah, Allah adalah Dzat Yang Menciptakan segala sesuatu. Jika Allah menciptakan segala sesuatu berarti Dia terpisah dari makhluk-Nya.

Dalam firman-Nya : Lam yaalid” = “tidak beranak” merupakan bantahan terhadap tiga kelompok anak Adam yang menyimpang. Mereka adalah orang Musyrik, orang Yahudi dan orang Nasrani. Orang musyrik meyakini bahwa malaikat yang mereka itu ‘Ibadur Rahman’ berjenis perempuan. Mereka mengatakan bahwa malaikat tersebut adalah anak perempuan Allah. Orang Yahudi mengatkan ‘Uzair adalah anak Allah, dan orang Nasrani mengatakan Al-masih adalah anak Allah. Kemudian Allah mengingkari mereka semua dengan firman-Nya “Lam yaalid wa lam yuu lad” = “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan”, karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Pertama, tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya, bagaimana mungkin dikatakan bahwa Dia dilahirkan.

Firman Allah.

“Artinya : Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]

Yaitu tidak ada sesuatu pun yang menyamai seluruh sifat-sifat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan Dirinya mempunyai ayah atau Dia dilahirkan atau ada yang semisal dengan-Nya.

Sureat ini mempunyai keistimewaan yang sangat agung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bahwa ia (surat Al-Ikhlash) menyamai sepertiga Al-Qur’an” [4]

Surat ini menyamai sepertiga Al-Qur’an tetapi tidak dapat menggantikan sepertiga Al-Qur’an tersebut. Dalilnya, kalau seorang membaca surat ini sebanyak tiga kali di dalam shalat, masih belum mencukupi sebelum ia membaca surat Al-Fatihah. Padahal jika ia membacanya tiga kali, seolah-olah ia membaca semua Al-Qur’an, tetapi tidak dapat mencukupinya. Jadi, kamu jangan heran ada sesuatu yang sebanding tetapi tidak mencukupi. Misalnya sabda Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa membaca :

“Artinya : Tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu”

Seakan-akan ia telah membebaskan empat orang budak dari keuturunan Isma’il atau dari anak Ismail” [5]

Padahal jika ia berkewajiban untuk membebaskan empat orang hamba, dengan mengatakan dzikir ini saja tidak cukup untuk membebaskan dirinya dari kewajiban membebaskan hamba tersebut. Oleh karena itu, sam bandingnya sesuatu belum tentu dapat menggantikan posisi yang dibandingkan.

Surat ini dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada raka’at kedua shalat sunnah Fajr, shalat sunnah Maghrib dan shalat sunnah Thawaf [6]. Begitu juga beliau membacanya dalam shalat witir [7], karena surat ini merupakan landasan keikhlasan yang sempurna kepada Allah, inilah sebabnya dinamai dengan surat Al-Ikhlash.

[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad (5/133), At-Tirmidzi dalam Kitab Tafsir, bab : Surat Al-Ikhlash, no. (3364)
[2]. Hadits riwayat Ath-Thabrany dalam Tafsirnya (30/346). Dan Al-Baihaqy dalam Asma Wash Shiafat hal. 58-59
[3]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab : Budi pekerti kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Fatimah Radhiyallahu ‘anha no. (3714). Dan Muslim dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab : Fadhilah Putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, no (2449) (93).
[4]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam Kitab Fadhilah Al-Qur’an, bab : Fadhilah “Qul Huwa Allahu Ahad” no. (5015) Dan Muslim dalam kitab Shalat Para Musafir, bab : Fadhilah membaca “Qul Huwa Allahu Ahad”, no. (811) (30)
[5]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Dzikir, bab : Fadhilah Tahlil, no. (2693) (30)
[6] Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Hadits riwayat At-Tirmidzi, dalam Bab-bab Witir, bab : Bacaan yang dibaca dalam shalat witir, no. (463). Ia berkata : “hadits ini hasan gharib”.